Pendekatan-pendekatan untuk
mempelajari dan meneliti masalah kepemimpinan telah lama dilakukan orang, para
pakar ilmu-ilmu sosial telah berusaha merumuskan teori-teori kepemimpinan berdasarkan
hasil penelitian lapangan yang tentu tidak lepas dari konteks budaya masyarakat
dan bangsanya sendiri.
Kepemimpinan dapat dirumuskan
sebagai inti manajemen, sedangkan manajemen adalah inti administrasi. Hubungan
dan persamaanya dapat terungkap dari kalimat pertanyaan tersebut, namun agak
sulit untuk membedakan istilah pemimpin, manajer dan administrator; walapun
ketiga istilah itu tidak identik, namun hubungan dan persamaannya tampak jelas.
Oleh karena itu yang dimaksud kepemimpinan dalam konteks ini adalah
kepemimpinan administratif - manajerial, dalam kepustakaan dikenal dengan
sebutkan kepemimpinan manajerial, kepemimpinan administratif atau kepemimpinan
organisasional.
Bermacam-macam rumusan
pengertian kepemimpinan yang jumlahnya hampir sebanyak jumlah orang yang telah
berusaha mendefinisikannya, namun demikian banyak kesamaannya, sehingga
memungkinkan adanya klasifikasi.
Mar’at (1982 : 8 – 18)
mengemukakan klasifikasi definisi kepemimpinan yang disadur dari buku “HAND BOOK OF LEADERSHIP”, karangan R.M Stogdill sebagai berikut:
·
Kepemimpinan sebagai
fokus proses-proses kelompok.
·
Kepemimpinan sebagai
suatu kepribadian dan akibatnya.
·
Kepemimpinan sebagai
seni mempengaruhi orang lain.
·
Kepemimpinan sebagai
penggunaan pengaruh.
·
Kepemimpinan sebagai tindakan
atau tingkah laku.
·
Kepemimpinan sebagai
bentuk persuasi.
·
Kepemimpinan sebagai
hubungan kekuasaan.
·
Kepemimpinan sebagai
alat mencapai tujuan.
·
Kepemimpinan sebagai
akibat dari interaksi.
·
Kepemimpinan sebagai
perbedaan peran.
·
Kepemimpinan sebagai
inisiasi struktur.
Pengelompokkan pengertian
kepemimpinan sebagaimana tersebut diatas, menunjukkan bagaimana sudut pandang
seorang pakar dalam menpersepsikan seorang pemimpin. Mereka yang memandang
kepemimpinan sebagai pusat dari perubahan, aktifitas dan proses kelompok.
Mereka yang menganggap kepemimpinan sebagai suatu kepribadian, mencoba
menerangkan mengapa beberapa individu lebih mampu mempraktekkan kepemimpinan
daripada individu yang lain. Mereka mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni
untuk mempengaruhi orang lain, menganggap bahwa pemimpin mempunyai satu
kelebihan, sehingga dapat mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai
dengan yang diharapkannya. Mereka menganggap bahwa kepemimpinan itu sebagai
pemaksa atau pendesakan secara tidak langsung. Sedangkan mereka yang memandang
kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh, menganggap bahwa pemimpin salah
seorang yang menggunakan pengaruh positifnya untuk menggerakkan orang lain agar
dapat bekerjasama dalam pencapaian tujuan kelompok.
Mereka mendefinisikan kepemimpinan
sebagai tindakan atau tingkah laku, menganggap bahwa karena adanya prilaku
pemimpin maka muncullah tindakan orang lain yang searah dengan keinginannya.
Tingkah laku kepemimpinan biasanya diartikan sebagai suatu tindakan dimana
pemimpin mengarahkan dan mengkoordinasi aktifitas kelompok.
Mereka yang menganggap
kepemimpinan sebagai bentuk persuasi, berusaha untuk menghilangkan adanya kesan
paksaan. Pimpinan adalah faktor yang sangat menentukan dalam hubungan dengan
para pengikutnya.
Kepemimpinan sebagai hubungan
kekuasaan memandang kekuasaan sebagai suatu bentuk dari hubungan saling
pengaruh-mempengaruhi. Pemimpin cenderung mentransformasikan “leadership
opportunity” ke dalam hubungan kekuasaan yang terbuka.
Mereka yang menganggap
kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan, memandang bahwa kepemimpinan
itu mempunyai instrumental. Kepemimpinan menghasilkan peran-peran tertentu yang
harus dimainkan dan dapat dipersatukan kelompok dalam rangka mencapai tujuan
bersama. Jadi kepemimpinan diartikan sebagai suatu fungsi yang sangat penting
dalam suatu kelompok.
Mereka yang memandang
kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi, menganggap bahwa kepemimpinan
tumbuh dan berkembang sebagai hasil proses interaksi yang berlangsung dengan
sendirinya. Kepemimpinan dapat terjadi bila dikehendaki dan dipandang perlu
oleh para anggota kelompok.
Berdasarkan klasifikasi konsep
kepemimpinan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang terkandung
dalam kepemimpinan adalah :
1.
Adanya seorang yang
disebut pemimpin.
2.
Adanya kelompok yang
dipimpin.
3.
Adanya suatu tujuan atau
sasaran.
4.
Adanya aktifitas.
5.
Adanya interaksi.
6.
Adanya kekuasaan.
Mar’at (1982 : 37)
menyebutkan faktor-faktor diatas sebagai variabel-variabel kepemimpinan yakni :
posisi, objek, arah, peranan, hubungan, dan power.
Teori-teori kepemimpinan dapat
dikelompokkan menjadi enam teori, yaitu:
1.
Teori orang-orang
terkemuka.
2.
Teori lingkungan
3.
Teori situasi personal
4.
Teori interaksi harapan
5.
Teori humanistik
6.
Teori pertukaran
· ad.1 Teori Kelompok Orang-Orang Terkemuka
Teori ini disusun berdasarkan cara induktif
dengan mempelajari sifat-sifat yang menonjol dari pimpinan atas keberhasilan
tugas yang dijalankan, terutama kemampuan untuk memimpin, diasumsikan bahwa
pemimpin-pemimpin yang berhasil memainkan peranan yang memiliki sifat-sifat
unik dan kualifikasinya adalah superior. Teori ini disebut juga dengan teori serba sifat.
· Ad.2. Teori Lingkungan
Teori ini menganggap bahwa kepemimpinan
didapatkan terutama karena faktor lingkungan sosial yang merupakan tantangan
untuk dapat diatasi. Selain itu seorang pemimpin tergantung pada zaman dimana
ia hidup untuk menyelesaikan masalah-masalah relevan dengan situasi dewasa ini.
Situasi lingkungan sosial merangsang agar pemimpin melakukan kegiatan-kegiatan
yang relevan dengan problema-problema yang ada pada waktu tertentu, sehingga
menghasilkan tipe kepemimpinan tertentu misalnya : pada masa perang, krisis,
reformasi, globalisasi, akan muncul kepemimpinan yang relevan pada saat itu.
· Ad.3. Teori Situasi Personal
Teori ini menganggap individu memiliki
kemampuan-kemampuan tertentu seperti kemampuan, sikap dan tingkah laku yang
dapat mengoperasikan aktivitasnya berdasarkan kondisi saat itu. Oleh karenanya
masalah kepemimpinan ditentukan juga oleh kepribadian pemimpinnya, kelompok
yang dipimpin, kejadian-kejadian yang timbul saat itu. Interaksi antara
pemimpin dengan situasinya membentuk tipe-tipe kepemimpinan tertentu.
· ad.4. Teori Interaksi Harapan
Teori ini dikemukakan berdasarkan tiga
variable, yaitu : aktivitas, interaksi, dan sentiment. Struktur interaksi akan
menentukan arah aktivitas, sehingga pemimpin harus dapat menciptakan suatu
struktur interaksi dimana struktur ini merupakan stimulasi terciptanya suatu
suasana yang relevan dengan harapan-harapan dari masyarakat.
· ad.5. Teori Humanistik
Teori ini menyatakan bahwa fungsi
kepemimpinan adalah mengatur kebebasan individu untuk dapat merealisasikan
motivasi rakyatnya agar dapat bersama-sama mencapai tujuan. Yang terpenting
dalam teori ini adalah unsur organisasi yang baik dan dapat memperhatikan
kebutuhan anggotanya.
· ad. 6. Teori Pertukaran
Teori ini menganggap bahwa interaksi sosial
akan menghasilkan bentuk perubahan-perubahan dimana para pengikutnya akan
berpartisipasi aktif. Pemimpin dan kepemimpinan banyak diharapkan mengadakan
interaksi untuk menunjang keberhasilan dari kepemimpinanya sehingga para
anggotnya merasa dihargai dan adanya kepuasan serta penghargaan terhadap pimpinan. Dengan demikian akan
terjalin suatu keseimbangan yang positif untuk adanya kebersamaan persepsi
terhadap tujuan yang akan dicapai, sehingga pengikut maupun pimpinan secara
bersama-sama merasakan kepuasan dalam
mencapai harapan-harapannya.
Keenam teori kepemimpinan
diatas dapat dirangkum menjadi tiga teori atau pendekatan utama, yaitu:
1)
Pendekatan sifat-sifat
kepribadian pemimpin
2)
Pendekatan prilaku
pemimpin dalam kelompok atau organisasi
3)
Pendekatan kontingensi
atau situasional
Ad.1. Pendekatan Sifat-Sifat Kepribadian
Studi tentang kepemimpinan yang
dipusatkan pada identifikasi sifat-sifat kepribadian yang sekiranya dapat
membedakan pemimpin dan bukan pimpinan, telah lama dilakukan orang. Pertanyaan
penting harus dicari jawabannya dalam pendekatan ini ialah sifat-sifat apakah
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga dapat dibedakan dengan yang
bukan pemimpin. Pendekatan ini menyarankan bahwa terdapat sifat-sifat atau
keramahan yang esensial bagi kepemimpinan yang efektif. Sifat-sifat pribadi
yang tak terpisahkan ini seperti intelegensi, yang dianggap bisa dialihkan dari
situasi yang lain. Karena tidak semua orang memiliki sifat-sifat ini, maka
hanya merekalah yang memilikinya bisa dipertimbangkan untuk menempati
kedudukan-kedudukan kepemimpinan.
Namun kelemahan pendekatan ini
ialah sulit untuk mendapatkan generalisasi sifat-sifat kepemimpinan yang dapat
ditemui padaorang lain. Namun demikian ternyata terdapat pula sifat-sifat
kepribadian pemimpin yang dianggap berhasil itu yang saling bertentangan.
Misalnya : ramah tapi tegas, suka merenung – tetapi aktif, stabil – tapi
fleksibel, keras hati – tapi kooperatif.
Pendekatan ini sering disebut
orang-orang besar yang menyatakan bahwa pemimpin besar yang terkenal. Namun
demikian dapat diakui bahwa tidak semua sifat kepemimpinan itu dilahirkan.
Sebagian dapat dicapai melalui pendidikan.
Stogdill yang mempelajari 124
studi kepemimpinan, menarik kesimpulan bahwa :”Seseorang tidak menjadi pemimpin dikarenakan memiliki kombinasi
sifat-sifat kepribadiaan, tetapi pola-pola sifat pribadi pemimpin itu mesti
menunjukkan hubungan tertentu dengan sifat kegiatan dan tujuan dari para
pengikutnya”.
Walau pendekatan ini banyak
mendapat kritikan dan sulit untuk diterapkan dalam setiap situasi organisasi,
namun dapat diakui bahwa pendekatan ini telah meletakkan dasar untuk munculnya
pendekatan lain, seperti pendekatan yang berpusat pada prilaku pemimpin dalam
interaksinya dengan orang lain pada kelompok atau organisasi.
Ad. 2. Pendekatan Keprilakuan
Pendekatan keprilakuan
memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari pola tingkah laku, dan bukan
dari sifat-sifat pemimpin. Studi ini melihat dan mengidentifikasi prilaku yang
khas dari pemimpin dalam kegiatannya untuk mempengaruhi anggota-anggota
kelompok atau pengikutnya. Prilaku pemimpin ini dapat berorientasi pada tugas
keorganisasian ataupun pada hubungan dengan anggota kelompoknya. Pendekatan ini
menitik beratkan pandangannya pada dua aspek prilaku kepemimpinan, yaitu “Fungsi dan Gaya Kepemimpinan” (Stoner,
1982 : 472)
Gaya kepemimpinan dapat
dikategorikan sebagai gaya yang berorientasi pada hubungan dengan bawahannya.
Dengan istilah “Gaya” (Style)
dimaksudkan suatu cara berprilaku yang khas dari seorang pemimpin terhadap para
anggotanya. Jadi apa yang dipilih pemimpin untuk dikerjakan, kapan ia
mengerjakannya, bagaimana caranya ia bertindak akan membantu gaya
kepemimpinannya.
Terdapat lima gaya kepemimpinan yang merupakan kombinasi antara dimensi
produksi dan dimensi orang. Gaya kepemimpinan pertama disebut “IMPROVERISHED”,
artinya : pemimpin menggunakan usaha yang paling sedikit untuk menyelesaikan
tugas tertentu, dan hal ini dianggap cukup untuk mempertahankan organisasi.
Gaya kepemimpinan yang kedua disebut “COUNTRY CLUB”. Artinya kepemimpinan yang
berdasarkan pada hubungan informal antara individu, keramah-tamahan dan
kegembiraan. Tekanan terletak pada pengarahan kepada hubungan kemanusian secara
maksimal. Gaya kepemimpinan ketiga adalah “TASK”, artinya pemimpin memandang
efisiensi kerja sebagai faktor utama untuk keberhasilan organisasi. Yang
ditekankan disini ialah penampilan individu dalam organisasi.
Gaya yang keempat disebut
“MIDDLE OF THE ROAD” artinya tengah-tengah. Yang menjadi tekanan pada gaya ini
ialah pada keseimbangan ynag optimal antara tugas dan hubungan manusiawi. Gaya
kepemimpinan yang kelima disebut “TEAM” yang berati keberhasilan suatu
organisasi tergantung pada hasil kerjasama sejumlah individu yang penuh
pengabdian. Tekanan utama terletak pada kepemimpinan kelompok yang satu sama
lain saling memerlukan. Dasar dari kepemimpinan kelompok ini adalah kepercayaan
dan penghargaan sesama anggota kelompok.
Teori kepemimpinan berdasarkan
dinamika kelompok, dikembangkan oleh Dorwin Cartwrigh dan Alvin Zander. Mereka
mengemukakan bahwa tujuan kelompok dapat digolongkan kedalam dua kategori.
1.
Pencapaian tujuan itu
sendiri dengan memberikan arah kepada bawahan untuk mencapai tujuan.
2.
Pemeliharaan integritas
kelompok itu sendiri dengan memperbaiki hubungan diantara para anggota
kelompok.
Selanjutnya Rensis Likert,
mengembangkan teori kepemimpinan yang berdasarkan pula pada dua dimensi, yaitu:
orientasi tugas dan orientasi bawahan, yang dijabarkan menjadi empat tingkat
model efektivitas manajemen berdasarkan berbedaan orang yang dipimpinnya, yang
paling ketat sampai kepada yang paling longgar atau bergerak dari sistem I
menuju sistem IV, menurut teori ini sistem kepemipinan terdiri dari empat
sistem, yaitu:
1.
EXPLOITATIVE
AUTHORITATIVE
2.
BENEVOLENT AUTHORITATIVE
3.
CONSULTATIVE
4.
PARTICIPATIVE
1.
EXPLOITATIVE
AUTHORITATIVE
Sistem ini bercirikan
tidak ada kepercayaan kepada bawahan. Ancaman dan hukuman merupakan alat utama
untuk memaksa bawahan untuk melakukan tugasnya dan berkomunikasi satu arah dari
atas kebawah, tertutup, formal dan instruktif.
2.
RENEVOLENT AUTHORITATIVE
Sistem ini bercirikan
adanya kepercayaan sedikit tetapi kepercayaan itu sifatnya seperti tuan kepada
hamba. Penghargaan digunakan untuk memotivasi bawahan, tetapi juga hukuman dan
ancaman terus dipergunakan sebagai pendorong untuk melakukan tugas. Komunikasi
sedikit terbuka tetapi berdasarkan ketidak percayaan.
3.
CONSULTATIVE
Sistem ini bercirikan
adanya kepercayaan kepada bawahan tetapi tidak penuh. Partisipasi dari bawah
terbuka untuk level bawah, demikian pula halnya untuk proses pengambilan
keputusan dimana hal yang penting tetapi berada di tangan pimpinan. Komunikasi
terbuka walaupun masih ada pembatasan, tetapi kepercayaan sudah merupakan dasar
komunikasi.
4.
PARTICIPATIVE
Sistem ini merupakan
sistem ideal, kepercayaan dari atasan penuh, partisipasi juga penuh,
penghargaan merupakan faktor penting. Percaya kepada diri sendiri dan
kreativitas merupakan unsur pertama. Komunikasi terbuka seluruhnya, hubungan
antara individu informal dan suasana organisasi segar dan sehat.
Ad. 3. Pendekatan Kontigensi
Pendekatan kontigensi dan
situasional sebenarnya masih tergolong dalam pendekatan keprilakuan karena yang
disoroti adalah prilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Beberapa teori
yang tergolong pendekatan ini akan dijelaskan sebagai berikut.
a)
Teori Tannenbuan dan Schmidt
Robbert Tannenbuan dan Warrant
A. Schmidt, mengemukakan bermacam-macam gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan
sebagai suatu kontinuan. Teori ini merupakan salah satu pendekatan kepemimpinan
situasional yang terkenal. Dalam kontinuan tersebut, pada satu ujung pemimpin
yang bersifat otokratis dan pada ujung yang lain bergaya demokratis. Prilaku
pemimpin bergayaotoriter berpusat pada pemimpin, sedangkan pada ujung yang lain
yaitu gaya demokratis berpusat pada bawahan.
Prilaku pemimpin yang berpusat
pada atasan menekankan pada hak dan kekuasaan atasan dalam pembuatan keputusan.
Sedangkan prilaku yang berpusat pada bawahan menekankan pada kebebasan bawahan
untuk memutuskan suatu masalah didalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh
atasan.
Diantara kedua ekstrim ini ada
banyak kombinasi kekuasaan yang manajerial dan kebebasan bawahan yang tersedia
bagi pemimpin. Ia memiliki fleksibilitas sebayak yang ia ingini dalam memilih
gaya kepemimpinan yang cocok untuk digunakan dalam situasi tertentu.
Ada tujuh model gaya pembuatan
keputusan yang dilakukan pemimpin. Ketujuh model ini masih dalam kerangka dua
gaya otokratis dan demokratis diatas.
Ketujuh model pengambilan
keputusan pimpinan diantara lain:
1) Pemimpin membuat
keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa
otoritas yang digunakan atasan terlalu banyak sedangkan daerah kebebasan
bawahan sempit sekali.
2) Pemimpin menjual
keputusan. Dalam hal ini pemimpin terlihat masih banyak menggunakan otoritas
yang ada padanya sehingga sama dengan yang model pertama. Bawahan disini masih
belum banyak terlibat dalam pembuatan keputusan.
3) Pemimpin memberikan
pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan mengundang pertanyaan-pertanyaan. Dalam
model ini pemimpin sudah menunjuk kemajuan. Dibatasinya penggunaan otoritasnya
dan bawahan diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Bawahan sudah sedikit terlibat dalam rangka pembuatan keputusan.
4) Pemimpin memberi
keputusan yang bersifat sementara, yang memungkinkan dapat berubah. Bawahan
sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pembuatan keputusan, sementara
otoritas pimpinan sudah mulai dikurangi penggunaanya.
5) Pemimpin memberikan
persoalan, meminta saran-saran dan membuat keputusan. Model ini sudah jelas,
otoritas pimpinan digunakan sedikit mungkin. Sebaliknya kebebasan bawahan dalam
partisipasi membuat keputusan sudah banyak dipergunakan.
6) Pemimpin merumuskan
batas-batasnya dalam meminta kelompok bawahan membuat keputusan. Patisipasi
bawahan dalam kesempatan ini lebih besar dibandingkan dengan model kelima
diatas.
7) Pemimpin mengijinkan
bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh
pimpinan. Model ini terletak pada titik ekstrim penggunaan otoritas pada model
nomor satu (1) diatas.
Untuk memilih gaya kepemimpinan
yang paling efektif bagi suatu situasi tertentu, mereka menyarankan bahwa
pemimpin harus mempertimbangkan tiga variabel, yaitu:
1.
Kekuatan-kekuatan dalam
dirinya.
2.
Kekuatan-kekuatan para
bawahan.
3.
Kekuatan-kekuatan dalam
situasi.
Pendekatan kepemimpinan yang
disarankan menekankan fleksibilitas dan meniadakan pandangan yang salah, bahwa
hanya satu cara memimpin yang paling baik.
b)
Model Kepemimpinan Kontigensi
Fiedler dan Chemers mengembangkan teori
kepemimpinan yang disebut model kepemimpinan kontigensi. Menurut pendekatan
ini, ada tiga faktor atau variabel yang menentukan apakah suatu situasi
“FAVORABLE” bagi pemimpin, yaitu :
1.
Hubungan antara Pemimpin
dengan yang Dipimpin, merupakan variabel terpenting sebab akan menentukan
kekuasaan dan pengaruh pemimpin itu. Otoritas pemimpin tergantung pada diterima
atau tidaknya pemimpin itu oleh anggota kelompokknya. Apabila karena
kepribadiannya pemimpin itu disenangi oleh anggotanya, pemimpin tersebut tidak
begitu memerlukan sokongan dari organisasi melalui struktur tugas atau kekusaan
karena kedudukan (Positioning Power).
2.
Struktur Tugas
Yaitu sejauh mana tugas-tugas
diperinci. Ini sejauhmana pemimpin dapat memberikan instruksi dan mengadakan
pembinaan terhadap anggota stafnya. Makin terinci tugas tersebut, makin besar
dukungan organisasi kepada pemimpin itu karena ia makin sukar ditantang.
Pada tugas yang tidak
berstruktur pemimpin harus mengetahui masalahnya labih banyak dibanding dengan
anggota stafnya.
3.
Kekusaan Kedudukan
Yaitu kekuasaan yang dimiliki
pemimpin karena kedudukannya. Kombinasinya menghasilkan delapan kepemimpinan.
c)
Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi
William J. Reddin (1970) mengemukakan teori
tiga dimensi, yaitu : penambahan komponen efektifitas pada dua dimensi kepemimpinan
yang sudah ada (prilaku tugas dan prilaku hubungan). Teori ini menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan yang efektif hanya dapat dipahami dalam konteks situasi
kepemimpinan. Maksudnya ialah setiap gaya dari keempat gaya dasar kepemipinan
dapat efektif atau tidak efektif tergantung pada situasi. Empat gaya dasar ini
akan menjadi delapan gaya kepemimpinan. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Gaya Dasar “INTEGRATED”
(Tugas tinggi dan hubungan
tinggi). Akan menjadi gaya “EXECUTIVE” bila
diekspresikan dalam situasi yang efektif. Tandanya ialah memenuhi kebutuhan
kelompok dalam menetapkan tujuan dan bagaimana mencapainya, tetapi juga sangat
memperhatikan hubungan dalam kelompok. Kelompok menjadi kohesif dan bekerja
keras. Bila tidak efektif, maka akan menjadi gaya “COMPROMISER” yang ditandai
dengan selalu memecahkan masalah dengan mengadakan kompromi antara tugas dan
hubungan sehingga tidak berorientasi pada hasil yang akan dicapai.
2. Gaya Dasar “RELATED”
(Hubungan tinggi dan tugas
rendah). Bila efektif akan menjadi gaya “DEVELOPER”. Yakni percaya kepdaa
anggota staf-nya dan memberikan kemudahan untuk berkembang pada anggota
staf-nya dan memberikan kemudahanuntuk berkembang pada anggotas staf-nya dalam
usaha mencapai tujuan organisasi. Apabila tidak efektif akan menjadi gaya
“MISSIONARI”, yaitu hanya tertarik pada adanya harmoni dan kadang-kadang tidak
bersedia mengorbankan hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.
3.
Gaya Dasar “SEPARATED”
(Hubungan rendah dan tugas
rendah). Bila efektif akan menjadi gaya “BUREUCRAT”, yakni mendelegasikan
wewenang pada bawahan untuk mengambil keputusan tentang apa yang perlu
dikerjakan. Bila tidak efektif akan menjadi gaya “DISERTER”, Yakni tidak
memberikan struktur yang jelas dan dukungan moral pada waktu diperlukan.
4.
Gaya Dasar “ DEDICATED”
(Tugas tinggi dan hubungan
rendah). Bila efektif akan menjadi gaya “BENEVOLENT AUTOCRAT”, yakni mempunyai
tata kerja yang sangat berstruktur tapi jelas untuk anggota-anggota staf-nya.
Bila tidak efektif akan menjadi gaya “AUTOCRAT”, yakni semua kebijakan
ditetapkan sendiri tanpa memperdulikan anggota staf.
d)
Model Jalur Tujuan
Teori ini penting karena
merupakan satu-satunya yang menekankan kepemimpinan dari pandangan “para
pengikut” dan bagaimana prilaku pemimpin dilihat dari persepsi dan perasan
mereka. Model ini menggunakan kerangka teori motivasi kerja disatu pihak, dan
dilain pihak berhubungan dengan kekuasaan.
Martin Evans dan Robert House
secara terpisah menulis karangan dalam pokok yang sama “Path-Goal Theory of
Leadership” (1968 dan 1971) dan merekalah yang mengembangkan teori ini secara
modern. Pada prinsipnya teori ini berusaha untuk menjelaskan pengaruh prilaku
pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan penampilan kerja bawahannya. Teori
ini dinamakan jalur-tujuan, karena dipusatkan pada cara pemimpin mempengaruhi
persepsi anggotanya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri sendiri,
dan jalur untuk mencapai tujuan tersebut.
Dasar model jalur-tujuan adalah
teori motivasi harapan. Secara singkat teori harapan menyatakan bahwa sikap
orang, kepuasan kerja, prilaku dan usahanya dalam pekerjaan dapat diramalkan
dari : (1) Sampai seberapa jauh pekerjaan atau prilaku itu dilihat dapat
menghasilkan berbagai macam perolehan (harapan), dan (2) Kesenangan akan
perolehan ini (valensi). Jadi, teori ini menyatakan bahwa orang akan merasa
puas dengan pekerjaannya jika ia berpendapat bahwa pekerjaan itu akan
menghasilkan perolehan yang diinginkan. Implikasi dari asumsi ini bagi
kepemimpinan adalah bahwa bawahan dimotivasi oleh gaya pemimpin atau prilakunya
sejauh gaya itu mempengaruhi harapan (jalan menuju tujuan) dan valensi atau
daya tarik tujuan (Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1984 : 301)
Pemimpin akan bekerja efektif
dengan memberikan imbalan yang tersedia bagi bawahan dan menguntungkan imbalan ini
terhadap pencapaian bawahan akan tujuan tertentu. Bagian yang paling penting
dari pekerjaan pemimpin ialah menjelaskan kepada bawahan tentang prilaku apa
yang paling mungkin dapat mencapai tujuan. Kegiatan ini disebut penjelasan
jalur.
Teori jalur-tujuan ini
bergantung pada tiga konsep utama, yaitu : (1) valensi, (2) ekspektansi, dan
(3) instrumentalitas (Evans, 1968). Kemudian ditambah lagi dua faktor, yakni
peranan manajer dan bawahan serta situasi, sehingga teori ini disebut juga
sebagai teori lima dimensi.
Cribbin (1982 : 21- 22)
mengemukakan teori lima dimensi ini sebagai berikut:
(1) Valensi (valence). Manusia cukup logis berfikir mereka hanya akan melakukan
sesuatu dengan baik jika dengan perbuatannya itu mereka akan memperoleh imbalan
yang bermutu. Karena itu, imbalan dan insentif yang diberikan oleh pemimpin
harus menarik bagi mereka.
(2) Harapan (expectancy). Manusia karena cukup main siasat. Mereka secara subjektif
memperkirakan kemampuannya untuk berprestasi sebagaimana yang diharuskan dan
memperkirakan kemungkinan bahwa mereka akan menerima hasil yang mereka hargai
jika mereka berprestasi dengan baik.
(3)
Alat Perangsang
(instrumentality). Imbalan berprestasi
tinggi bukan merupakan tujuan satu-satunya. Orang melihat imbalan seperti
kenaikan gaji atau kenaikan pangkat sebagai cara untuk mencapai tujuan yang
lebih penting, misalnya gaya hidup yang lebih baik atau pendidikan yang lebih
baik bagi anak-anaknya. Jadi, hasil pada tingkat pertama merupakan alat bantu
untuk mencapai tujuan pada tingkat kedua.
(4) Peranan Manajer. Merupakan dimensi keempat dalam teori ini. Pemimpin
menggunakan empat tipe atau gaya perilaku yang tergantung pada situasi, yakni
prilaku instrumental atau direktif, prilaku suportif, prilaku partisipatif, dan
prilaku yang berorientasikan prestasi. Prilaku instrumental meliputi organisasi
arus kerja, menjaga supaya bawahan tahu apa yang diharapkan dari mereka.
Prilaku suportif atau konsiderasi meliputi pembentukan suasana yang hangat dan
membantu, menyingirkan halangan-halangan terhadap pelaksanaan kerja dan
memudahkan bawahan untuk berkarya. Prilaku partisifatif mencakup konsultasi
dengan bawahan, memberitahu mereka berbagai perkembangan, memberikan umpan
balik, dan menggunakan pendekatan kelompok terhadap pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan jika sesuai. Sedangkan prilaku yang berorientasi prestasi
menentukan sasaran yang memberikan tantangan dan yang berarti seraya percaya
pada kemampuan bawahan untuk mencapainya.
(5)
Bawahan dan situasi. Merupakan dimensi
kelima. Terdapat banyak jalan kecil (jalur) yang dapat ditempuh untuk mencapai
prestasi dan kepuasan karyawan. Tugas yang sangat berstruktur yang kecepatannya
ditentukan oleh mesin dan bersifat selalu kurang sama dan dapat membosankan,
memerlukan prilaku-prilaku yang ramah, interaktif dan menyokong secara sosial,
misalnya pujian, interaksi, keramahtamahan, bahkan kelakar yang mengurangi
ketegangan. Sebaliknya, tugas yang berlebihan atau mengandung resiko tinggi
memerlukan pendekatan yang lebih bersifat mengarahkan.
Tipe-tipe prilaku atau gaya
kepemimpinan seperti yang telah disebutkan itu dapat terjadi dan dipergunakan
senyatanya oleh pemimpin yang sama dalam situasi yang berbeda.Proposisi dari teori lajur
tujuan ini adalah :
(1)
Prilaku pemimpin dapat
diterima dan memuaskan sejauh bawahan menganggap prilaku semacam itu merupakan
sumber langsung dari kepuasan atau sebagai alat untuk mendapatkan kepuasan di
waktu yang akan datang.
(2) Prilaku pemimpin dapat
memotivasi bawahan sampai sejauh prilaku itu memuaskan kebutuhan bawahan yang
digantungkan pada hasil karya yang efektif dan prilaku tersebut melengkapi
lingkungan bawahan dengan memberikan bimbingan, kejelasan pengarahan, dan
imbalan yang perlu bagi hasil karya yang efektif.
Dua jenis variabel situasional
atau kontingensi, yaitu : (1) Karakteristik personal bawahan, dan (2) Tekanan
serta tuntutan lingkungan yang harus dihadapi bawahan agar dapat mencapai
tujuan pekerjaan dan kepuasan.
Suatu penelitian menemukan
bahwa apabila struktur tugas (pekerjaan yang berulang-ulang atau yang rutin)
itu tinggi, maka prilaku pemimpin yang direktif itu mempunyai hubungan yang
negatif dengan kepuasan; apabila struktur tugas itu rendah, maka prilaku
pemimpin yang direktif mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan.
Demikian juga apabila struktur tugas itu tinggi, maka kepemipinan yang suportif
mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan, sedangkan pada struktur tugas
yang rendah tidak ada sesuatu hubungan antara prilaku pemimpin yang suportif
dengan kepuasan (Gibson, 1984 : 303).
e) Model Kepemimpinan dari
Vroom dan Yetton
Vroom dan Yetton (1977)
mengemukakan model kepemimpinan yang memusatkan perhatiannya pada cara
pengambilan keputusan dan cara pelaksanaannya. Mereka telah mengembangkan model
pengambilan keputusan kepemimpinan yang menunjukkan macam-macam situasi dimana
berbagai macam tingkat pengambilan keputusan yang partisipatif dapat cocok.
Berbeda dengan Fiedler, mereka berusaha memberikan model normatif yang dapat
digunakan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan. Mereka mengasumsikan bahwa
tidak ada gaya ideal dan cocok bagi setiap situasi. Pemimpin harus cukup
fleksibel untuk merubah gaya kepemimpinan supaya cocok dengan situasi. Fiedler
berpendirian bahwa situasilah yang harus dirubah supaya cocok dengan gaya
kepemimpinan yanag cukup keras dan sukar dirubah.
Cribbin (1982 : 24)
mengemukakan kriteria pengambilan keputusan kepemimpinan sebagaiman yang
dirumuskan oleh Vroom dan Yetton dalam bentuk pertanyaan, yaitu : (1) apakah
ada persyaratan mutu ? (2) Apakah masalah itu berstruktur ? (3) apa saya cukup
mempunyai infomasi? (4) apakah penerimaan oleh bawahan penting ? (5) jika saya
mengambil keputusan, apakah saya cukup yakin bahwa bawahan akan menerimanya ?
(6) apakah bawahan ikut mencapai tujuan organisasi dalam memecahkan masalah?
(7) apa ada kemungkinan terjadi perselisihan mengenai penyelesaian yang lebih
disukai.
Dalam menggunakan kriteria ini,
ada tiga strategi bagi manajer. Strategi otokratis menyangkut pemecahan masalah
oleh manajer sendiri dengan mempergunakan informasi apapun yang tersedia, atau
mendapatkan data tertentu dari orang-orang sebelum mengambil keputusan.
Strategi konsultatif menyangkut pembebanan masalah itu kepada
orang-orang yang relevan dan mengumpulkan usul-usul dan gagasan mereka sebelum
mengambil keputusan atau menggunakan cara berkonsultasi dalam lingkungan
kelompok. Akhirnya, proses kelompok menyangkut fungsi kasalitator
sehingga kelompok mencapai konsensus. Ada dua syarat sebagai pelengkap ketujuh
kriteria tersebut diatas. Jika faktor waktu penting sekali, maka pendekatan yang
paling otokratis mungkin paling baik. Ini berlaku untuk keadaan darurat dan
keadaan yang memerlukan efektivitas waktu dipandang dari segi satu jam kerja
untuk satu orang yang disediakan untuk satu proses. Jika pengembangan bawahan
merupakan masalah yang kritis, maka lebih layak dipergunakan pendekatan
partisipatif seperti yang dikatakan oleh Vroom dan Yetton, “Manajer bukan
semata-mata otokratis atau partisipatif belaka, tetapi dapat mempergunakan
pendekatan mana saja sebagai jawaban atas tuntutan situasi sesuai dengan
persepsinya”.
f) Pendekatan “Social
Learning” dalam Kepemimpinan
“Sosial Learning” merupakan
suatu teori yang dapat memberikan suatu model yang menjamin kelangsungan
interaksi timbal balik antara pemimpin, model yang menjamin kelangsungan interaksi
timbal balik antara pemimpin, lingkungan dan prilakunya sendiri. Nampaknya
teori ini agak komprehensif dan memberikan dasar-dasar teori yang jelas dalam
rangka memahami kepemimpinan. (M. Thoha, 1983 : 48)
Penekanan pendekatan ini ialah
terletak pada peranan prilaku kepemimpinan, kelangsungan dan interaksi timbal
balik diantara semua variable yang ada. Dapat dikatakan bahwa bawahan secara
aktif ikut terlibat dalam proses kegiatan organisasi dan bersama-sama dengan
pimpinan memusatkan pada prilakunya sendiri dan prilaku lainnya, serta
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lingkungan dan kognisi-kognisi yang
bisa memperantarakan.
Pada prinsipnya pendekatan ini
menganggap bahwa :
(1)
Pemimpin menjadi lebih
mengetahui dengan variabel-variabel mikro dan makro yang mengendalikan
prilakunya.
(2)
Pemimpin bekerja
bersama-sama dengan bawahannya untuk menentukan serangkaian prilaku kontigen
yang berkepribadiaan dan yang dapat mengatur prilaku bawahan.
(3)
Pemimpin bersama-sama
dengan bawahan berusaha menemukan cara-cara yang dapat dipergunakan untuk
mengatur prilaku individu guna menghasilkan hasil-hasil yang produktif yang
lebih bisa menguatkan bersama organisasi.
Dengan demikian, dalam
pendekatan “social learning” ini antara pemimpin dan bawahan mempunyai
kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara yang timbul. Keduanya
mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai kesadaran untuk menemukan
bagaimana caranya menyempurnakan prilaku masing-masing dengan memberikan
penghargaan-penghargaan yang diinginkan.
g)
Teori Kepemimpinan Situsional
Teori kepemimpinan situsional
dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard yang mereka anggap
sebagai “Life Cycle Theory of Leadership” (1977 : 160)
Teori ini merupakan
pengembangan yang mutakhir dari teori kepemimpinan dan merupakan hasil baru
dari model keefektifan pemimpin tiga dimensi. Model kepemimpinan ini didasarkan
pada hubungan garis lengkung diantara (1) Kadar bimbingan dan arahan (prilaku
tugas) yang diberikan pemimpin; (2) Kadar dukungan sosio-emosional (prilaku
hubungan) yang disediakan pemimpin; dan (3) level kesiapan (kamatangan) yang
diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi atau tujuan tertentu.
Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang-orang yang melakukan proses
kepemimpinan, tanpa mempersoalkan peranan mereka, agar lebih efektif dalam
hubungan mereka sehari-hari dengan orang lain. Konsep ini menjelaskan hubungan
antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan level kematangan para pengikut,
bagi para pemimpin (Hersey & Blanchard, 1986 : 178)
Walaupun diakui bahwa semua
variabel situasi yakni pemimpin, pengikut, atasan, sejawat, organisasi, desakan
pekerjaan dan waktu adalah penting, namun dalam kepemimpinan situasional
penekanan diletakkan pada prilaku pemimpin dalam hubungannya dengan pengikut.
Hubungan ini tidak semata-mata hubungan vertikal, tetapi juga secara
horizontal. Jadi bagaimana peran pemimpin dalam mempengaruhi prilaku bawahan,
atasan, sejawat, teman, peserta didik atau anggota keluarga.
Dalam teori ini, kematangan
diartikan sebagai kemampuan dan kemauan para pengikut untuk bertanggung jawab
dan mengarahkan prilaku mereka sendiri. Kematangan disini hendaknya diartikan
hanya dalam hubungan dengan tugas-tugas spesifik yang akan dilakukan seseorang.
Sebab tidak dapat dikatakan bahwa seseorang itu sangat matang atau tidak matang
dalam arti semua pekerjaan (menyeluruh). Semua orang cenderung lebih atau
kurang matang dalam hubungan dengan tugas, fungsi atau sasaran spesifik yang
diupayakan pemimpin untuk mereka selesaikan.
Teori kepemimpinan situasional
mengatakan bahwa tidak ada satu pun cara terbaik untuk menpengaruhi prilaku
orang lain. Gaya kepemimpinn yang mana yang harus diterapkan seseorang terhadap
orang lain tergantung pada level kematangan dari orang-orang yang akan
dipengaruhi pemimpin.
Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menentukan komponen
kematangan adalah:
(1)
Orang yang mempunyai
motif berprestasi memiliki karakteristik umum tertentu, termasuk kemampuan
merumuskan dan dapat mencapai tujuan-tujuan yang tinggi, mempunyai perhatian
pada prestasi pribadi.
(2)
Berkaitan dengan istilah
tanggung jawab yang dapat dilihat dari dua konsep, yaitu : kemauan (motivasi)
dan kemampuan (kompetensi). Kombinasi dari kedua faktor tersebut adalah : (a)
individu yang tidak mampu bertanggung jawab, (b) individu yang mau tetapi tidak
mampu bertanggung jawab, (c) individu yang mampu tetapi tidak mau bertanggung
jawab, dan (d) individu yang mau dan mampu bertanggung jawab.
(3)
Berkaitan dengan
pendidikan dan atau pengalaman.
(4)
Berkatian dengan
kematangan melakukan tugas relevan ini, terdapat dua faktor : (a) kematangan
kerja yaitu kemampuan dan pengetahuan teknis untuk melakukan tugas, dan (b)
kematangan psikologis yaitu suatu perasaan percaya diri dan harga diri tentang
diri sendiri sebagai seorang individu.
(5)
Berkaitan dengan
variabel-variabel situasional lain,
misalnya gaya atasan memimpin, komitmen dalam waktu dan hakekat kerja.
Menurut
teori kepemimpinana situasional, taraf kematangan para pengikat secara kontinyu
meningkat dalam hal melaksanakan tugas spesifik. Pemimpin handaknya mulai
mengurangi “prilaku tugas mereka dan
meningkatkan prilaku hubungan” sampai individu atau kelompok mencapai taraf
kematangan moderat. Pada saat seorang atau kelompok bergerak dalam mencapai
tingkat rata-rata kematangan, pemimpin hendaknya mengurangi baik orientasi
hubungan maupun orientasi tugasnya. Keadaan ini berlangsung sampai pengikut
mencapai tingkat kematangan penuh dimana mereka sudah dapat mandiri baik
dilihat dari kematangan kerjanya ataupun kematangan psikologisnya. Pengawasan
yang ketat tidak lagi diperlukan dan pemimpin sudah dapat mendelegasikan
wewenangnya kepada bawahan. Jadi teori ini menekankan pada kesesuaian antara
gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan para pengikut.
Empat
gaya kepemimpinan menurut teori ini adalah :
(1)
“Memberitahukan”
(Telling). Perilaku pemimpin dengan tugas
tinggi dan hubungan rendah. Gaya ini mempunyai ciri komunikasi satu arah.
Pemimpin mengatakan apa, bagaimana, kapan dan dimana tugas pekerjaan dilakukan.
Pemimpin memberikan intruksi spesifikasi dan mensuvervisi pelaksanaan pekerjaan
secara ketat. Gaya ini sesuai dengan level kematangan yang rendah (M1).
(2)
“Menjajakan” (Selling). Perilaku tugas tinggi dan hubungan tinggi. Gaya ini ditandai
dengan pengarahan yang masih tinggi dari pimpinan, tetapi sudah mengadakan
komunikasi dua arah dengan dukungan sosio-emosional untuk menjajakan keputusan.
Gaya ini sesuai dengan kematangan rendah ke sedang (M2), disini menjelaskan
orang-orang yang tidak mampu tetapi mau memikul tanggung jawab untuk
melaksanakan suatu tugas.
(3)
“Mengikut sertakan
(Participating). Perilaku hubungan tinggi
dan tugas rendah. Pemimpin dan pengikut sama-sama memberikan andil dalam
keputusan melalui komunikasi dua arah. Gaya ini sesuai dengan tingkat
kematangan sedang ke tinggi (M3), disini menjelaskan orang-orang yang mampu
tetapi tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidak mampuan
mereka sering kali karena kurang yakin atau merasa tidak aman.
(4)
“Mendelegasikan”
(Delegating). Perilaku hubungan rendah dan
tugas rendah. Gaya ini melibatkan yang dipimpin untuk melaksanakan tugas mereka
sendiri melalui pendelegasian dan supervisi yang bersifat umum. Sesuai bagi
tingkat kematangan tinggi (M4). Orang-orang yang mampu, dan mau, atau yakin
untuk memikul tanggung jawab. Mereka adalah orang yang matang melakukan tugas
dan matang pula secara psikologis.
Model
kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard tersebut telah mengalami
perbaikan dan perubahan yang dilakukan oleh Kenneth Blanchard bersama Patricia
Zigarmi (1985), yang mereka sebut dengan Kepemimpinan Situasional II,
2.2. Keempat gaya kepemimpinannya adalah sebagai berikut:
2.2. Keempat gaya kepemimpinannya adalah sebagai berikut:
Gaya
1 : Mengarahkan (Directing).
Pemeimpin memberikan petunjuk yang spesifik dan mengawasi secara ketat
penyelesaian tugas.
Gaya2 :Melatih (Coasching).
Pemimpin terus mengarahkan dan mengawasi secara ketat penyelesaian tugas,
tetapi juga menjelaskan keputusan, meminta saran dan mendukung kemajuan.
Gaya 3 : Mendukung
(Supporting). Pemimpin memberikan fasilitas dan mendukung usaha bawahan kea
rah penyelesaian tugas dan membagi tanggung jawab untuk membuat keputusan
dengan mereka.
Gaya
4 : Mendelegasikan (Delegating).
Pemimpin menyerahkan tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan pemecahan
masalah kepada bawahan (Blanchard, Zigarmi, 1986 : 30).
Gaya
kepemimpinan adalah bagimana pemimpin berprilaku ketika hendak mencoba
mempengaruhi prestasi para pengikut. Gaya kepemimpinan merupakan kombinasi
antara perilaku direktif dan perilaku suportif. Perilaku direktif meliputi :
mengatakan secara jelas kepada seseorang apa yang dikerjakan, bagimana mengerjakannya,
dimana melakukannya, bilamana mengerjakannya; dan kemudian mengawasi dengan
seksama pelaksanaannya. Sedangkan perilaku suportif meliputi : mendegarkan
orang lain, memberikan dukungan dan semangat atas usaha mereka, dan kemudian
membantu keterlibatan mereka dalam pemecahan persoalan dalam pengambilan
keputusan. Walaupun ada empat gaya kepemimpinan, tetapi tidak ada satupun gaya
kepemimpinan yang terbaik.
Tingkat
kematangan para pengikut, di dalam model Kepemimpinan Situasional II dikenal
dengan sebutan “Tingkat Pengembangan” yang berupa kombinasi antara kompetensi
dan komitmen. Kompetensi merupakan fungsi dari pengetahuan dan keterampilan
yang dapat diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman. Komitmen
merupakan gabungan antara rasa percaya diri dengan motivasi.
Rasa
percaya diri adalah ukuran dari keyakinan diri seseorang, perasaan bahwa ia
mampu melakukan suatu tugas dengan baik tanpa banyak pengawasan. Sedangkan
motivasi adalah minat dan semangat seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
assalamualaikum.....pembahasannya menarik sekali....bila diperkenankan bisakah saya mengetahui sumber literatur dari tulisan ini,,karena saya mengangkat topik kepemimpinan dalam penelitian saya saat ini,,,terima kasih banyak.....
BalasHapus