Kamis, 23 Agustus 2012

KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS SISTEM NILAI BUDAYA



Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi perilaku sesorang atau kelompok yang tertuju pada upaya pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Dalam situasi itu terdapat dua orang atau lebih yang saling berinteraksi. Pihak yang dipengaruhi disebut pengikut, sedangkan yang mempengaruhi disebut pemimpin. Pola perilaku pemimpin dan pengikut tidak lepas dari pengaruh sistem nilai budayanya.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ni disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup. Sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para masyarakat tadi. (Koentjaraningrat, 1983 : 192)
Secara praktis dan singkat, kebudayaan dapat diartikan sebagai sistem nilai dan gagasan utama (vital). Sistem nilai dan gagasan utama itu dihayati benar-benar oleh para pendukung kebudayaan bersangkutan dalam kurun waktu tertentu, sehingga mendominasi keseluruhan kehidupan para pendukung itu, dalam arti mengarahkan tingkah laku mereka di dalam masyarakatnya. Sistem nilai dan gagasan utama itu memberi pola untuk bertingkah laku kepada masyarakatnya, atau dengan kata lain, memberi seperangkat model untuk bertingkah laku.
Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagai suatu warga masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga bagi hidupnya. Karena itu suatu sistem nilai budaya, menjadi bagian dari kebudayaan yang berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia. Tetapi karena sistem nilai budaya itu hanya merupakan konsep-konsep abstrak, tanpa perumusan yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya bisa dirasakan, seringkali tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Hal ini justru karena sering hanya dapat dirasakan dan tidak dirumuskan dengan akan yang rasional, maka konsep-konsep itu seringkali amat mendarah daging dan sukar dirubah atau diganti dengan konsep-konsep lain. Kalau sistem nilai budaya itu menjadi pengarah bagi tindakan manusia, maka pedomannya yang nyata adalah norma-norma, hukum dan aturan ; yang biasanya memang bersifat tegas dan konkrit. Adapun norma-norma hukum dan aturan-aturan itu (selayaknya) bersumber pada sistem nilai budaya dan ia merupakan perincian dari konsep-konsep abstrak dalam sistem itu.
Kajian tentang kepemimpinan dalam konteks sistem nilai budaya, dengan kata lain meninjau dan memahami sistem nilai budaya yang dimiliki oleh para pemimpin dan pengikutnya. Pola perilaku kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai budayanya.
Secara universal, semua sistem nilai budaya yang ada didunia ini dapat dikategorikan dalam lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia, yaitu:
1.      Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia.
2.      Masalah mengenai hakekat dari karya manusia.
3.      Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.
4.      Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
5.      Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat, 1983 ; 28)
Semua kebudayaan di dunia ini mempunyai konsep sendiri tentang apa yang dimaksud hakekat hidup itu. Apa arti hidup ini, apa tujuannya, dan bagaimana menjalaninya. Biasanya setiap agama yang ada memberikan petunjuk kepada seseorang sehingga terbentuk persepsinya terhadap hakekat hidup itu. Ada yang menganggap hidup ini sebagai kesengsaraan yang tidak dapat dihindari, ada juga yang menganggap sebagai anugerah Tuhan.
Konsep tentang arti karya demikian pula banyaknya yang dikemukakan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang menganggap kerja itu sebagai sesuatu yang memberikan arti bagi kehidupan; bekerja sebagai sarana untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan dari masyarakat; bekerja sebagai panggilan Tuhan dan sebagainya.
Begitu juga halnya dengan masalah hubungan manusia dengan alam. Ada yang memandang bahwa alam ini dapat memberikan rezeki apabila manusia mengolahnya; ada pula yang memandang bahwa manusia harus menjaga keseimbangan menurut hukum-hukumnya.
Berbagai pula tanggapan orang terhadap waktu (masa) lalu yang memberikan pedoman dalam hidupnya; ada yang menganggap bahwa masa kini yang terpenting; sedangkan ada yang menganggap bahwa orientasi ke masa depan adalah yang terbaik untuk hidup ini.
Tanggapan manusia terhadap sesamanya, bermacam-macam pula. Ada yang menganggap bahwa yang terbaik ialah mengikuti teladan orang lebih tua atau atasan. Ada pula yang menganggap bawah yang terbaik ialah merasa ada hidup kebersamaan dengan sesamanya; menganggap bahwa mengikuti petunjuk para leluhur adalah yang terbaik.
Timbul pertanyaan, nilai budaya apakah yang perlu dimiliki oleh manusia Indonesia (para pemimpin dan pengikutnya) agar bisa membangun dirinya dan bangsanya?
Koentjaraningrat, mengemukakan bahwa suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Suatu nilai budaya semacam ini akan lebih seksama dan teliti dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat.
Suatu nilai budaya lain juga perlu adalah nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam. Suatu nilai semacam itu akan menambah kemungkinan inovasi, terutama dalam teknologi. Usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan suatu mentalitas yang bernilai tinggi dalam hasrat bereksplorasi, juga mutu dan ketelitian. Suatu mentalitas yang bernilai tinggi mutu dan ketelitian  itu sebenarnya memerlukan suatu orientasi nilai budaya yang menilai tinggi dari hasil karya manusia. Sasaran orientasi dari karya seharusnya merupakan hasil dari karya itu sendiri, dan bukan misalnya hasil berupa harta untuk dikonsumsi, atau hasil berupa kedudukan sosial yang menambah gengsi.
Selain itu perlu menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri. Nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan, ke arah orang yang lebih senior, ke arah orang yang berpangkat lebih tinggi, yang harus dimintai restu dulu, perlu dirubah sedikit. Nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbulnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan taat kalau ada pengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau pengawasan tadi menjadi kendor. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke arah atas akan juga mematikan rasa tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak bisa, untuk selalu membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain sehingga rasa tanggung jawab sendiri itu menjadi sekecil mungkin (Koentjaraningrat, 1983 : 34 – 36).
Namun demikian nilai budaya yang berorientasi ke atas atau vertikal, sampai batas-batas tertentu dapat mempunyai makna positif, karena dapat dipergunakan sebagai taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam proses kepemimpinan, orientasi vertikal ini dapat menjadi alat yang ampuh bagi seorang pemimpin terutama dalam hal memberi teladan kepada para bawahanya.
Beberapa prinsip dari pusaka nenek moyang kita yang utama dalam BUDAYA KEPEMIMPINAN, yakni “ing ngarso sing tulodo” (seorang pemimpin harus mampu – lewat sikap dan perbuatannya – menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya), “ing madyo mangun karso” (pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarya dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbing), “tut wuri handayani” (pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab).
Norma-norma kepemimpinan yang lain yang mendukung ketiga nilai luhur tersebut dan sesuai dengan nilai BUDAYA adalah : wibawa, jujur, bijaksana, mengayomi, berani, mawas diri, mampu melihat jauh ke depan, berani dan mampu mengatasi kesulitan, bersikap wajar, tegas dan bertanggung jawab atas putusan yang diambil, sederhana penuh pengabdian kepada tugas, berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu.
Manusia Indonesia adalah orang-orang yang secara primer berorientasi pada nilai-nilai yang pragmatik, terarah pada keberhasilan. Nilai-nilai ini secara dominan bersifat operatif, yakni mempengaruhi perilakunya. Nilai-nilai budaya yang masih ada ialah menghargai orang tua, ketaatan kepada agama/Tuhan, rendah hati dan kejujuran (A. A. Dananjaya , 1986 : 163).
Sistem nilai budaya yang diyakini dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya, sangat mempengaruhi pola dan perilaku kepemimpinan dari para administrator atau pemimpin. Begitu juga halnya dengan orang yang dipimpin, nilai budaya masyarakanya senantiasa mewarnai pola perilakunya dalam interaksi dengan atasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar