Kepemimpinan adalah suatu
proses mempengaruhi perilaku sesorang atau kelompok yang tertuju pada upaya
pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Dalam situasi itu terdapat dua orang
atau lebih yang saling berinteraksi. Pihak yang dipengaruhi disebut pengikut,
sedangkan yang mempengaruhi disebut pemimpin. Pola perilaku pemimpin dan
pengikut tidak lepas dari pengaruh sistem nilai budayanya.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan
paling abstrak dari adat istiadat. Hal ni disebabkan karena nilai-nilai budaya
itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai,
berharga dan penting dalam hidup. Sehingga dapat berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para masyarakat tadi. (Koentjaraningrat, 1983
: 192)
Secara praktis dan singkat,
kebudayaan dapat diartikan sebagai sistem nilai dan gagasan utama (vital).
Sistem nilai dan gagasan utama itu dihayati benar-benar oleh para pendukung
kebudayaan bersangkutan dalam kurun waktu tertentu, sehingga mendominasi
keseluruhan kehidupan para pendukung itu, dalam arti mengarahkan tingkah laku
mereka di dalam masyarakatnya. Sistem nilai dan gagasan utama itu memberi pola
untuk bertingkah laku kepada masyarakatnya, atau dengan kata lain, memberi
seperangkat model untuk bertingkah laku.
Sistem nilai budaya adalah
suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagai suatu
warga masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga bagi
hidupnya. Karena itu suatu sistem nilai budaya, menjadi bagian dari kebudayaan
yang berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia. Tetapi karena
sistem nilai budaya itu hanya merupakan konsep-konsep abstrak, tanpa perumusan
yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya bisa dirasakan, seringkali
tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Hal ini justru karena sering
hanya dapat dirasakan dan tidak dirumuskan dengan akan yang rasional, maka
konsep-konsep itu seringkali amat mendarah daging dan sukar dirubah atau
diganti dengan konsep-konsep lain. Kalau sistem nilai budaya itu menjadi
pengarah bagi tindakan manusia, maka pedomannya yang nyata adalah norma-norma,
hukum dan aturan ; yang biasanya memang bersifat tegas dan konkrit. Adapun
norma-norma hukum dan aturan-aturan itu (selayaknya) bersumber pada sistem
nilai budaya dan ia merupakan perincian dari konsep-konsep abstrak dalam sistem
itu.
Kajian tentang kepemimpinan
dalam konteks sistem nilai budaya, dengan kata lain meninjau dan memahami
sistem nilai budaya yang dimiliki oleh para pemimpin dan pengikutnya. Pola
perilaku kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai budayanya.
Secara universal, semua sistem
nilai budaya yang ada didunia ini dapat dikategorikan dalam lima masalah dasar
dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia, yaitu:
1.
Masalah mengenai hakekat
dari hidup manusia.
2.
Masalah mengenai hakekat
dari karya manusia.
3.
Masalah mengenai hakekat
dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.
4.
Masalah mengenai hakekat
dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
5.
Masalah mengenai hakekat
dari hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat,
1983 ; 28)
Semua kebudayaan di dunia ini
mempunyai konsep sendiri tentang apa yang dimaksud hakekat hidup itu. Apa arti
hidup ini, apa tujuannya, dan bagaimana menjalaninya. Biasanya setiap agama
yang ada memberikan petunjuk kepada seseorang sehingga terbentuk persepsinya
terhadap hakekat hidup itu. Ada yang menganggap hidup ini sebagai kesengsaraan
yang tidak dapat dihindari, ada juga yang menganggap sebagai anugerah Tuhan.
Konsep tentang arti karya
demikian pula banyaknya yang dikemukakan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang
menganggap kerja itu sebagai sesuatu yang memberikan arti bagi kehidupan;
bekerja sebagai sarana untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan dari
masyarakat; bekerja sebagai panggilan Tuhan dan sebagainya.
Begitu juga halnya dengan
masalah hubungan manusia dengan alam. Ada yang memandang bahwa alam ini dapat
memberikan rezeki apabila manusia mengolahnya; ada pula yang memandang bahwa
manusia harus menjaga keseimbangan menurut hukum-hukumnya.
Berbagai pula tanggapan orang
terhadap waktu (masa) lalu yang memberikan pedoman dalam hidupnya; ada yang
menganggap bahwa masa kini yang terpenting; sedangkan ada yang menganggap bahwa
orientasi ke masa depan adalah yang terbaik untuk hidup ini.
Tanggapan manusia terhadap
sesamanya, bermacam-macam pula. Ada yang menganggap bahwa yang terbaik ialah
mengikuti teladan orang lebih tua atau atasan. Ada pula yang menganggap bawah
yang terbaik ialah merasa ada hidup kebersamaan dengan sesamanya; menganggap
bahwa mengikuti petunjuk para leluhur adalah yang terbaik.
Timbul pertanyaan, nilai budaya
apakah yang perlu dimiliki oleh manusia Indonesia (para pemimpin dan
pengikutnya) agar bisa membangun dirinya dan bangsanya?
Koentjaraningrat, mengemukakan
bahwa suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia
Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi
ke masa depan. Suatu nilai budaya semacam ini akan lebih seksama dan teliti dan
oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk
berhemat.
Suatu nilai budaya lain juga
perlu adalah nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam
dan kekuatan-kekuatan alam. Suatu nilai semacam itu akan menambah kemungkinan
inovasi, terutama dalam teknologi. Usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan
suatu mentalitas yang bernilai tinggi dalam hasrat bereksplorasi, juga mutu dan
ketelitian. Suatu mentalitas yang bernilai tinggi mutu dan ketelitian itu sebenarnya memerlukan suatu orientasi
nilai budaya yang menilai tinggi dari hasil karya manusia. Sasaran orientasi
dari karya seharusnya merupakan hasil dari karya itu sendiri, dan bukan
misalnya hasil berupa harta untuk dikonsumsi, atau hasil berupa kedudukan
sosial yang menambah gengsi.
Selain itu perlu menilai tinggi
mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri,
berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri. Nilai yang terlampau
berorientasi vertikal ke arah atasan, ke arah orang yang lebih senior, ke arah
orang yang berpangkat lebih tinggi, yang harus dimintai restu dulu, perlu
dirubah sedikit. Nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan akan
mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan berusaha sendiri, dan akan
menyebabkan timbulnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan
taat kalau ada pengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau
pengawasan tadi menjadi kendor. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke
arah atas akan juga mematikan rasa tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak
bisa, untuk selalu membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain sehingga
rasa tanggung jawab sendiri itu menjadi sekecil mungkin (Koentjaraningrat, 1983
: 34 – 36).
Namun demikian nilai budaya
yang berorientasi ke atas atau vertikal, sampai batas-batas tertentu dapat
mempunyai makna positif, karena dapat dipergunakan sebagai taktik untuk
mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam proses kepemimpinan,
orientasi vertikal ini dapat menjadi alat yang ampuh bagi seorang pemimpin
terutama dalam hal memberi teladan kepada para bawahanya.
Beberapa prinsip dari pusaka
nenek moyang kita yang utama dalam BUDAYA KEPEMIMPINAN, yakni “ing ngarso sing tulodo” (seorang
pemimpin harus mampu – lewat sikap dan perbuatannya – menjadikan dirinya pola
anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya), “ing madyo mangun karso” (pemimpin harus mampu membangkitkan
semangat berswakarya dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbing), “tut wuri handayani” (pemimpin
harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan
dan sanggup bertanggung jawab).
Norma-norma kepemimpinan yang lain
yang mendukung ketiga nilai luhur tersebut dan sesuai dengan nilai BUDAYA
adalah : wibawa, jujur, bijaksana, mengayomi, berani, mawas diri, mampu melihat
jauh ke depan, berani dan mampu mengatasi kesulitan, bersikap wajar, tegas dan
bertanggung jawab atas putusan yang diambil, sederhana penuh pengabdian kepada
tugas, berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu.
Manusia Indonesia adalah
orang-orang yang secara primer berorientasi pada nilai-nilai yang pragmatik,
terarah pada keberhasilan. Nilai-nilai ini secara dominan bersifat operatif,
yakni mempengaruhi perilakunya. Nilai-nilai budaya yang masih ada ialah
menghargai orang tua, ketaatan kepada agama/Tuhan, rendah hati dan kejujuran
(A. A. Dananjaya , 1986 : 163).
Sistem nilai budaya yang
diyakini dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya, sangat
mempengaruhi pola dan perilaku kepemimpinan dari para administrator atau
pemimpin. Begitu juga halnya dengan orang yang dipimpin, nilai budaya
masyarakanya senantiasa mewarnai pola perilakunya dalam interaksi dengan
atasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar