Selasa, 28 Agustus 2012

MENYUSUN RENCANA PEMASARAN


Pemasaran memerlukan analisis situasi lingkungan dan peluang pasar, pembuatan sasaran pemasaran, formulasi strategi dan taktik pemasaran, dan kemudian pembuatan rencana untuk mengimplementasikan. Sejalan dengan  visi dan misi wirausahawan yang bersangkutan. Secara makro ditelaah faktor-faktor perubahan dalam perekonomian secara luas, pemerintahan, politik, sosial, hukum/peraturan, alam dan teknologi secara berkesinambungan menciptakan peluang bisnis baru yang sekaligus menimbulkan ancaman. Mereka yang kurang memahami tanda-tanda dari pengaruh external akan mengalami kegagalan.

Disisi lain perlu dipahami kondisi internal wirausahawan yang bersangkutan baik kekuatan kemampuan maupun kelemahannya, terutama yang berkaitan dengan sumber-sumber daya yang diperlukan. Menajemen pemasaran harus meliputi “rencana pemasaran”. Rencana pemasaran adalah bagian dari rencana usaha (atau rencana strategis). Rencana pemasaran terdiri dari analisis situasi yang berdasarkan atas SWOT analysis.

Garis besar rencana pemasaran adalah sebagai berikut:
1          1.      Analisis situasi lingkungan dan peluang pasar
2          2.      Mengembangkan sasaran pemasaran
3          3.      Formulasi strategi pemasaran
4          4.      Merencanakan rencana tindakan

11.   Analisis Situasi Lingkungan dan Peluang Pasar
Analisis situasi meliputi identifikasi dan evaluasi pengaruh luaryang tak dapat dikendalikan, pelanggan, dan persaingan, serta kemampuan perusahaan, untuk menentukan peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan. Kegiatan ini mempunyai arti penting dalam penyusunan dan implementasi strategi pemasaran. Bagian cukup penting dari analisis situasi yang dipelukan untuk mengembangkan rencana pemasaran adalah analisis peluang pasar (Market Opportunity Analysis /MOA). Berikut ini adalah lima langkah MOA:

a.      Indentifikasi faktor lingkungan bisnis:
a.      Kondisi dan kecenderungan perekonomian
b.      Situasi dan kecenderungan hukum dan peraturan
c.       Penempatan posisi dan kecenderungan teknologi
d.     Perubahan sosial yang relevan
e.      Lingkungan alam

b.     Jelaskan indusri dan pandangan mengenainya
a.      Jenis industry
b.      Ukuran sekarang dan dalam 3-5 tahun mendatang
c.       Jenis segmen pasar
d.     Praktek pemasaran di industry
e.      Kecenderungan yang utama
f.        Implikasi terhadap peluang

c.       Analisis pesaing utama
a.      Deskripsi produk
b.      Penempatan posisi pasar
c.       Praktek pasar : saluran distribusi, penetapan harga, promosi, pelayanan.
d.     Perkiraan pangsa pasar
e.      Reaksi terhadap persaingan
f.        Implikasi terhadap persaingan
g.      Implikasi terhadap peluang
  
d.     Menciptakan profil pasar sasaran
a.      Tingkatkan kebutuhan umum, merek spesifik
b.      Fokus pemakai akhir
c.       Profil pelanggan sasaran:
-       Siapakah pelanggan potensial saya?
-       Seperti apa mereka sebagai konsumen?
-       Bagaimana keputusannya untuk membeli/tidak?
-       Pentingnya perangkat produk yang berbeda.
-       Pengaruh luar apa yang mempengaruhi membeli.
d.     Implikasi terhadap peluang

e.      Susun proyeksi penjualan
a.      Sebanyak mungkin pendekatan formal/intuitif.
b.      Perbandingan hasil yang didapat
c.       Jalan/tidak jalan

 Adapun sumber-sumber informasi untuk MOA:
a.      Dari sumber-sumber publikasi
b.      Wawancara dengan para ahli
c.       Observasi pribadi
d.     Research pemasaran


22.   Menyusun Sasaran Pemasaran
Langkah berikutnya dalam mengembangkan sasaran pemasaran adalah menyusun sasaran pemasaran. Sasaran harus dinyatakan bagi setiap pasar sasaran dalam segi penjualan, kontribusi laba, dan tujuan kualitatif lainnya seperti membangun citra (image building). Sering kali sasaran dibedakan menjadi dua kelompok:
1.      Sasaran prestasi pasar
      Contoh :   - Meningkatkan jumlah penjualan    5 %
                        - Meningkatkan jumlah pelanggan 10%
2.      Sasaran penunjang pemasaran
      Contoh :   - Mengembangkan iklan bersasaran, sistematik, dan terkoordinasi.
                        - Meningkatkan mutu pelayanan.

33.   Perumusan Strategi Pemasaran
Strategi pemasaran adalah kumpulan petunjuk dan kebijakan yang digunakan secara efektif untuk mencocokan program pemasaran dengan peluang pasar sasaran guna mencapai sasaran usaha. Pada dasarnya strategi pemasaran menunjukkan bagaimana sasaran pemasaran dapat dicapai. Sasaran, pemilihan pasaran sasaran, dan penentuan program pemasaran secara bersama-sama membentuk strategi pemasaran. Pengembangan strategi pemasaran meliputi penetapan pelanggan mana yang akan dijadikan sasaran dan bagaimana memposisikan produk dan bisnis tersebut relative terhadap para pesaing dimata para pelanggan, baik yang sudah ada maupun potensial.
Pemasaran suatu perusahaan harus terdiri dari strategi yang terintegrasi yang diarahkan untuk memberikan kepuasan kepada para pelanggan. Untuk membangun sebuah strategi, suatu perusahaan mengunakan variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan yang membentuk bauran pemasaran (marketing mix); yang terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
a.      Produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan (Product).
b.      Saluran distribusi yang digunakan oleh perusahaan (grosir, distributor, pengecer) agar produk tersebut tersedia bagi para pelanggan (Place).
c.       Harga yang diminta oleh perusahaan (Price).
d.     Promosi (iklan, personal selling, promosi penjualan dan publikasi) (Promotion).


Keempat hal tersebut diatas sering populer dan disebut 4P.

Variabel Bauran Pemasaran

PRODUCT
PLACE
PRICE
PROMOTION
Tampilan
Kualitas
Kemasan
Merek
Pelayanan
Garansi
Diversifikasi
Lokasi 
Jenis Saluran
Gudang
Transportasi/Logistik
Tingkat pelayanan
Daftar Harga
Jangka waktu
Pembayaran
Potongan harga
Flexibilitias
Bauran promosi
Personal selling
Promosi Penjualan
Publisitas


44.   Menciptakan Rencana Tindakan Untuk Melaksanakan Kegiatan Pemasaran
Langka akhir pengembangan rencana pemasaran adalah mengambil keputusan rencana tindakan pelaksanaan. Untuk mengubah keputusan pemasaran yang begitu banyak menjadi suatu rencana, langkah terakhir adalah menggambarkan berbagai tugas dan mengembangkan jadwal waktu serta anggaran dengan penugasan atas berbagai tanggung jawab. Dalam langkah yang harus diperhatikan oleh wirausahawan adalah pentingnya pengawasan dan pengendalian. Apabila bisnisnya menjadi berkembang luas/besar sehingga diluar kapasitas wirausahawan yang bersangkutan, perlu mengembangkan suatu tim yang didasarkan atas keahlian guna meraih perkembangan selanjutnya.


Kesimpulannya : pemasaran adalah rumah bagi wirausahawan, dan demikian sebaliknya. Dalam suatu studi, pentingnya manajemen pemasaran terhadap keberhasilan usaha dinilai 6,7 dalam skala 7. Nilai kegagalan usaha dapat diturunkan, sampai sebesar 60 % melalui analisis pasar yang lebih baik. 

Kamis, 23 Agustus 2012

TEORI DASAR KEPEMIMPINAN


Pendekatan-pendekatan untuk mempelajari dan meneliti masalah kepemimpinan telah lama dilakukan orang, para pakar ilmu-ilmu sosial telah berusaha merumuskan teori-teori kepemimpinan berdasarkan hasil penelitian lapangan yang tentu tidak lepas dari konteks budaya masyarakat dan bangsanya sendiri.
Kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai inti manajemen, sedangkan manajemen adalah inti administrasi. Hubungan dan persamaanya dapat terungkap dari kalimat pertanyaan tersebut, namun agak sulit untuk membedakan istilah pemimpin, manajer dan administrator; walapun ketiga istilah itu tidak identik, namun hubungan dan persamaannya tampak jelas. Oleh karena itu yang dimaksud kepemimpinan dalam konteks ini adalah kepemimpinan administratif - manajerial, dalam kepustakaan dikenal dengan sebutkan kepemimpinan manajerial, kepemimpinan administratif atau kepemimpinan organisasional.
Bermacam-macam rumusan pengertian kepemimpinan yang jumlahnya hampir sebanyak jumlah orang yang telah berusaha mendefinisikannya, namun demikian banyak kesamaannya, sehingga memungkinkan adanya klasifikasi.
Mar’at (1982 : 8 – 18) mengemukakan klasifikasi definisi kepemimpinan yang disadur dari buku “HAND BOOK OF LEADERSHIP”, karangan R.M Stogdill sebagai berikut:
·         Kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok.
·         Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya.
·         Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain.
·         Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh.
·         Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku.
·         Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi.
·         Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan.
·         Kepemimpinan sebagai alat mencapai tujuan.
·         Kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi.
·         Kepemimpinan sebagai perbedaan peran.
·         Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur.
Pengelompokkan pengertian kepemimpinan sebagaimana tersebut diatas, menunjukkan bagaimana sudut pandang seorang pakar dalam menpersepsikan seorang pemimpin. Mereka yang memandang kepemimpinan sebagai pusat dari perubahan, aktifitas dan proses kelompok. Mereka yang menganggap kepemimpinan sebagai suatu kepribadian, mencoba menerangkan mengapa beberapa individu lebih mampu mempraktekkan kepemimpinan daripada individu yang lain. Mereka mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni untuk mempengaruhi orang lain, menganggap bahwa pemimpin mempunyai satu kelebihan, sehingga dapat mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diharapkannya. Mereka menganggap bahwa kepemimpinan itu sebagai pemaksa atau pendesakan secara tidak langsung. Sedangkan mereka yang memandang kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh, menganggap bahwa pemimpin salah seorang yang menggunakan pengaruh positifnya untuk menggerakkan orang lain agar dapat bekerjasama dalam pencapaian tujuan kelompok.
Mereka mendefinisikan kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku, menganggap bahwa karena adanya prilaku pemimpin maka muncullah tindakan orang lain yang searah dengan keinginannya. Tingkah laku kepemimpinan biasanya diartikan sebagai suatu tindakan dimana pemimpin mengarahkan dan mengkoordinasi aktifitas kelompok.
Mereka yang menganggap kepemimpinan sebagai bentuk persuasi, berusaha untuk menghilangkan adanya kesan paksaan. Pimpinan adalah faktor yang sangat menentukan dalam hubungan dengan para pengikutnya.
Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan memandang kekuasaan sebagai suatu bentuk dari hubungan saling pengaruh-mempengaruhi. Pemimpin cenderung mentransformasikan “leadership opportunity” ke dalam hubungan kekuasaan yang terbuka.
Mereka yang menganggap kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan, memandang bahwa kepemimpinan itu mempunyai instrumental. Kepemimpinan menghasilkan peran-peran tertentu yang harus dimainkan dan dapat dipersatukan kelompok dalam rangka mencapai tujuan bersama. Jadi kepemimpinan diartikan sebagai suatu fungsi yang sangat penting dalam suatu kelompok.
Mereka yang memandang kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi, menganggap bahwa kepemimpinan tumbuh dan berkembang sebagai hasil proses interaksi yang berlangsung dengan sendirinya. Kepemimpinan dapat terjadi bila dikehendaki dan dipandang perlu oleh para anggota kelompok.
Berdasarkan klasifikasi konsep kepemimpinan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang terkandung dalam kepemimpinan adalah :
1.      Adanya seorang yang disebut pemimpin.
2.      Adanya kelompok yang dipimpin.
3.      Adanya suatu tujuan atau sasaran.
4.      Adanya aktifitas.
5.      Adanya interaksi.
6.      Adanya kekuasaan.
Mar’at (1982 : 37) menyebutkan faktor-faktor diatas sebagai variabel-variabel kepemimpinan yakni : posisi, objek, arah, peranan, hubungan, dan power.
Teori-teori kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi enam teori, yaitu:
1.      Teori orang-orang terkemuka.
2.      Teori lingkungan
3.      Teori situasi personal
4.      Teori interaksi harapan
5.      Teori humanistik
6.      Teori pertukaran
·  ad.1 Teori Kelompok Orang-Orang Terkemuka
Teori ini disusun berdasarkan cara induktif dengan mempelajari sifat-sifat yang menonjol dari pimpinan atas keberhasilan tugas yang dijalankan, terutama kemampuan untuk memimpin, diasumsikan bahwa pemimpin-pemimpin yang berhasil memainkan peranan yang memiliki sifat-sifat unik dan kualifikasinya adalah superior. Teori ini disebut juga dengan teori serba sifat.
·  Ad.2. Teori Lingkungan
Teori ini menganggap bahwa kepemimpinan didapatkan terutama karena faktor lingkungan sosial yang merupakan tantangan untuk dapat diatasi. Selain itu seorang pemimpin tergantung pada zaman dimana ia hidup untuk menyelesaikan masalah-masalah relevan dengan situasi dewasa ini. Situasi lingkungan sosial merangsang agar pemimpin melakukan kegiatan-kegiatan yang relevan dengan problema-problema yang ada pada waktu tertentu, sehingga menghasilkan tipe kepemimpinan tertentu misalnya : pada masa perang, krisis, reformasi, globalisasi, akan muncul kepemimpinan yang relevan pada saat itu.

·  Ad.3. Teori Situasi Personal
Teori ini menganggap individu memiliki kemampuan-kemampuan tertentu seperti kemampuan, sikap dan tingkah laku yang dapat mengoperasikan aktivitasnya berdasarkan kondisi saat itu. Oleh karenanya masalah kepemimpinan ditentukan juga oleh kepribadian pemimpinnya, kelompok yang dipimpin, kejadian-kejadian yang timbul saat itu. Interaksi antara pemimpin dengan situasinya membentuk tipe-tipe kepemimpinan tertentu.

·  ad.4. Teori Interaksi Harapan
Teori ini dikemukakan berdasarkan tiga variable, yaitu : aktivitas, interaksi, dan sentiment. Struktur interaksi akan menentukan arah aktivitas, sehingga pemimpin harus dapat menciptakan suatu struktur interaksi dimana struktur ini merupakan stimulasi terciptanya suatu suasana yang relevan dengan harapan-harapan dari masyarakat.
·  ad.5. Teori Humanistik
Teori ini menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengatur kebebasan individu untuk dapat merealisasikan motivasi rakyatnya agar dapat bersama-sama mencapai tujuan. Yang terpenting dalam teori ini adalah unsur organisasi yang baik dan dapat memperhatikan kebutuhan anggotanya.

·  ad. 6. Teori Pertukaran
Teori ini menganggap bahwa interaksi sosial akan menghasilkan bentuk perubahan-perubahan dimana para pengikutnya akan berpartisipasi aktif. Pemimpin dan kepemimpinan banyak diharapkan mengadakan interaksi untuk menunjang keberhasilan dari kepemimpinanya sehingga para anggotnya merasa dihargai dan adanya kepuasan serta penghargaan  terhadap pimpinan. Dengan demikian akan terjalin suatu keseimbangan yang positif untuk adanya kebersamaan persepsi terhadap tujuan yang akan dicapai, sehingga pengikut maupun pimpinan secara bersama-sama merasakan  kepuasan dalam mencapai harapan-harapannya.
Keenam teori kepemimpinan diatas dapat dirangkum menjadi tiga teori atau pendekatan utama, yaitu:
1)    Pendekatan sifat-sifat kepribadian pemimpin
2)    Pendekatan prilaku pemimpin dalam kelompok atau organisasi
3)    Pendekatan kontingensi atau situasional
Ad.1.   Pendekatan Sifat-Sifat Kepribadian
Studi tentang kepemimpinan yang dipusatkan pada identifikasi sifat-sifat kepribadian yang sekiranya dapat membedakan pemimpin dan bukan pimpinan, telah lama dilakukan orang. Pertanyaan penting harus dicari jawabannya dalam pendekatan ini ialah sifat-sifat apakah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga dapat dibedakan dengan yang bukan pemimpin. Pendekatan ini menyarankan bahwa terdapat sifat-sifat atau keramahan yang esensial bagi kepemimpinan yang efektif. Sifat-sifat pribadi yang tak terpisahkan ini seperti intelegensi, yang dianggap bisa dialihkan dari situasi yang lain. Karena tidak semua orang memiliki sifat-sifat ini, maka hanya merekalah yang memilikinya bisa dipertimbangkan untuk menempati kedudukan-kedudukan kepemimpinan.
Namun kelemahan pendekatan ini ialah sulit untuk mendapatkan generalisasi sifat-sifat kepemimpinan yang dapat ditemui padaorang lain. Namun demikian ternyata terdapat pula sifat-sifat kepribadian pemimpin yang dianggap berhasil itu yang saling bertentangan. Misalnya : ramah tapi tegas, suka merenung – tetapi aktif, stabil – tapi fleksibel, keras hati – tapi kooperatif.
Pendekatan ini sering disebut orang-orang besar yang menyatakan bahwa pemimpin besar yang terkenal. Namun demikian dapat diakui bahwa tidak semua sifat kepemimpinan itu dilahirkan. Sebagian dapat dicapai melalui pendidikan.
Stogdill yang mempelajari 124 studi kepemimpinan, menarik kesimpulan bahwa :”Seseorang tidak menjadi pemimpin dikarenakan memiliki kombinasi sifat-sifat kepribadiaan, tetapi pola-pola sifat pribadi pemimpin itu mesti menunjukkan hubungan tertentu dengan sifat kegiatan dan tujuan dari para pengikutnya”.
Walau pendekatan ini banyak mendapat kritikan dan sulit untuk diterapkan dalam setiap situasi organisasi, namun dapat diakui bahwa pendekatan ini telah meletakkan dasar untuk munculnya pendekatan lain, seperti pendekatan yang berpusat pada prilaku pemimpin dalam interaksinya dengan orang lain pada kelompok atau organisasi.

Ad. 2.  Pendekatan Keprilakuan
Pendekatan keprilakuan memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari pola tingkah laku, dan bukan dari sifat-sifat pemimpin. Studi ini melihat dan mengidentifikasi prilaku yang khas dari pemimpin dalam kegiatannya untuk mempengaruhi anggota-anggota kelompok atau pengikutnya. Prilaku pemimpin ini dapat berorientasi pada tugas keorganisasian ataupun pada hubungan dengan anggota kelompoknya. Pendekatan ini menitik beratkan pandangannya pada dua aspek prilaku kepemimpinan, yaitu “Fungsi dan Gaya Kepemimpinan” (Stoner, 1982 : 472)
Gaya kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai gaya yang berorientasi pada hubungan dengan bawahannya. Dengan istilah “Gaya” (Style) dimaksudkan suatu cara berprilaku yang khas dari seorang pemimpin terhadap para anggotanya. Jadi apa yang dipilih pemimpin untuk dikerjakan, kapan ia mengerjakannya, bagaimana caranya ia bertindak akan membantu gaya kepemimpinannya.
Terdapat lima gaya kepemimpinan yang merupakan kombinasi antara dimensi produksi dan dimensi orang. Gaya kepemimpinan pertama disebut “IMPROVERISHED”, artinya : pemimpin menggunakan usaha yang paling sedikit untuk menyelesaikan tugas tertentu, dan hal ini dianggap cukup untuk mempertahankan organisasi. Gaya kepemimpinan yang kedua disebut “COUNTRY CLUB”. Artinya kepemimpinan yang berdasarkan pada hubungan informal antara individu, keramah-tamahan dan kegembiraan. Tekanan terletak pada pengarahan kepada hubungan kemanusian secara maksimal. Gaya kepemimpinan ketiga adalah “TASK”, artinya pemimpin memandang efisiensi kerja sebagai faktor utama untuk keberhasilan organisasi. Yang ditekankan disini ialah penampilan individu dalam organisasi.
Gaya yang keempat disebut “MIDDLE OF THE ROAD” artinya tengah-tengah. Yang menjadi tekanan pada gaya ini ialah pada keseimbangan ynag optimal antara tugas dan hubungan manusiawi. Gaya kepemimpinan yang kelima disebut “TEAM” yang berati keberhasilan suatu organisasi tergantung pada hasil kerjasama sejumlah individu yang penuh pengabdian. Tekanan utama terletak pada kepemimpinan kelompok yang satu sama lain saling memerlukan. Dasar dari kepemimpinan kelompok ini adalah kepercayaan dan penghargaan sesama anggota kelompok.
Teori kepemimpinan berdasarkan dinamika kelompok, dikembangkan oleh Dorwin Cartwrigh dan Alvin Zander. Mereka mengemukakan bahwa tujuan kelompok dapat digolongkan kedalam dua kategori.
1.   Pencapaian tujuan itu sendiri dengan memberikan arah kepada bawahan untuk mencapai tujuan.
2.   Pemeliharaan integritas kelompok itu sendiri dengan memperbaiki hubungan diantara para anggota kelompok.
Selanjutnya Rensis Likert, mengembangkan teori kepemimpinan yang berdasarkan pula pada dua dimensi, yaitu: orientasi tugas dan orientasi bawahan, yang dijabarkan menjadi empat tingkat model efektivitas manajemen berdasarkan berbedaan orang yang dipimpinnya, yang paling ketat sampai kepada yang paling longgar atau bergerak dari sistem I menuju sistem IV, menurut teori ini sistem kepemipinan terdiri dari empat sistem, yaitu:
1.   EXPLOITATIVE AUTHORITATIVE
2.   BENEVOLENT AUTHORITATIVE
3.   CONSULTATIVE
4.   PARTICIPATIVE

1.   EXPLOITATIVE AUTHORITATIVE
Sistem ini bercirikan tidak ada kepercayaan kepada bawahan. Ancaman dan hukuman merupakan alat utama untuk memaksa bawahan untuk melakukan tugasnya dan berkomunikasi satu arah dari atas kebawah, tertutup, formal dan instruktif.
2.   RENEVOLENT AUTHORITATIVE
Sistem ini bercirikan adanya kepercayaan sedikit tetapi kepercayaan itu sifatnya seperti tuan kepada hamba. Penghargaan digunakan untuk memotivasi bawahan, tetapi juga hukuman dan ancaman terus dipergunakan sebagai pendorong untuk melakukan tugas. Komunikasi sedikit terbuka tetapi berdasarkan ketidak percayaan.
3.   CONSULTATIVE
Sistem ini bercirikan adanya kepercayaan kepada bawahan tetapi tidak penuh. Partisipasi dari bawah terbuka untuk level bawah, demikian pula halnya untuk proses pengambilan keputusan dimana hal yang penting tetapi berada di tangan pimpinan. Komunikasi terbuka walaupun masih ada pembatasan, tetapi kepercayaan sudah merupakan dasar komunikasi.
4.   PARTICIPATIVE
Sistem ini merupakan sistem ideal, kepercayaan dari atasan penuh, partisipasi juga penuh, penghargaan merupakan faktor penting. Percaya kepada diri sendiri dan kreativitas merupakan unsur pertama. Komunikasi terbuka seluruhnya, hubungan antara individu informal dan suasana organisasi segar dan sehat.
Ad. 3.   Pendekatan Kontigensi
Pendekatan kontigensi dan situasional sebenarnya masih tergolong dalam pendekatan keprilakuan karena yang disoroti adalah prilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Beberapa teori yang tergolong pendekatan ini akan dijelaskan sebagai berikut.
a)      Teori Tannenbuan dan Schmidt
Robbert Tannenbuan dan Warrant A. Schmidt, mengemukakan bermacam-macam gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan sebagai suatu kontinuan. Teori ini merupakan salah satu pendekatan kepemimpinan situasional yang terkenal. Dalam kontinuan tersebut, pada satu ujung pemimpin yang bersifat otokratis dan pada ujung yang lain bergaya demokratis. Prilaku pemimpin bergayaotoriter berpusat pada pemimpin, sedangkan pada ujung yang lain yaitu gaya demokratis berpusat pada bawahan.
Prilaku pemimpin yang berpusat pada atasan menekankan pada hak dan kekuasaan atasan dalam pembuatan keputusan. Sedangkan prilaku yang berpusat pada bawahan menekankan pada kebebasan bawahan untuk memutuskan suatu masalah didalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh atasan.
Diantara kedua ekstrim ini ada banyak kombinasi kekuasaan yang manajerial dan kebebasan bawahan yang tersedia bagi pemimpin. Ia memiliki fleksibilitas sebayak yang ia ingini dalam memilih gaya kepemimpinan yang cocok untuk digunakan dalam situasi tertentu.
Ada tujuh model gaya pembuatan keputusan yang dilakukan pemimpin. Ketujuh model ini masih dalam kerangka dua gaya otokratis dan demokratis diatas.
Ketujuh model pengambilan keputusan pimpinan diantara lain:
1)   Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang digunakan atasan terlalu banyak sedangkan daerah kebebasan bawahan sempit sekali.
2)  Pemimpin menjual keputusan. Dalam hal ini pemimpin terlihat masih banyak menggunakan otoritas yang ada padanya sehingga sama dengan yang model pertama. Bawahan disini masih belum banyak terlibat dalam pembuatan keputusan.
3)        Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan mengundang pertanyaan-pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjuk kemajuan. Dibatasinya penggunaan otoritasnya dan bawahan diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan sudah sedikit terlibat dalam rangka pembuatan keputusan.
4)   Pemimpin memberi keputusan yang bersifat sementara, yang memungkinkan dapat berubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pembuatan keputusan, sementara otoritas pimpinan sudah mulai dikurangi penggunaanya.
5)     Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan membuat keputusan. Model ini sudah jelas, otoritas pimpinan digunakan sedikit mungkin. Sebaliknya kebebasan bawahan dalam partisipasi membuat keputusan sudah banyak dipergunakan.
6)     Pemimpin merumuskan batas-batasnya dalam meminta kelompok bawahan membuat keputusan. Patisipasi bawahan dalam kesempatan ini lebih besar dibandingkan dengan model kelima diatas.
7)    Pemimpin mengijinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pimpinan. Model ini terletak pada titik ekstrim penggunaan otoritas pada model nomor satu (1) diatas.
Untuk memilih gaya kepemimpinan yang paling efektif bagi suatu situasi tertentu, mereka menyarankan bahwa pemimpin harus mempertimbangkan tiga variabel, yaitu:
1.      Kekuatan-kekuatan dalam dirinya.
2.      Kekuatan-kekuatan para bawahan.
3.      Kekuatan-kekuatan dalam situasi.
Pendekatan kepemimpinan yang disarankan menekankan fleksibilitas dan meniadakan pandangan yang salah, bahwa hanya satu cara memimpin yang paling baik.

b)      Model Kepemimpinan Kontigensi
Fiedler dan Chemers mengembangkan teori kepemimpinan yang disebut model kepemimpinan kontigensi. Menurut pendekatan ini, ada tiga faktor atau variabel yang menentukan apakah suatu situasi “FAVORABLE” bagi pemimpin, yaitu :
1.   Hubungan antara Pemimpin dengan yang Dipimpin, merupakan variabel terpenting sebab akan menentukan kekuasaan dan pengaruh pemimpin itu. Otoritas pemimpin tergantung pada diterima atau tidaknya pemimpin itu oleh anggota kelompokknya. Apabila karena kepribadiannya pemimpin itu disenangi oleh anggotanya, pemimpin tersebut tidak begitu memerlukan sokongan dari organisasi melalui struktur tugas atau kekusaan karena kedudukan (Positioning Power).
2.   Struktur Tugas
Yaitu sejauh mana tugas-tugas diperinci. Ini sejauhmana pemimpin dapat memberikan instruksi dan mengadakan pembinaan terhadap anggota stafnya. Makin terinci tugas tersebut, makin besar dukungan organisasi kepada pemimpin itu karena ia makin sukar ditantang.
Pada tugas yang tidak berstruktur pemimpin harus mengetahui masalahnya labih banyak dibanding dengan anggota stafnya.
3.   Kekusaan Kedudukan
Yaitu kekuasaan yang dimiliki pemimpin karena kedudukannya. Kombinasinya menghasilkan delapan kepemimpinan.

c)      Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi
William J. Reddin (1970) mengemukakan teori tiga dimensi, yaitu : penambahan komponen efektifitas pada dua dimensi kepemimpinan yang sudah ada (prilaku tugas dan prilaku hubungan). Teori ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang efektif hanya dapat dipahami dalam konteks situasi kepemimpinan. Maksudnya ialah setiap gaya dari keempat gaya dasar kepemipinan dapat efektif atau tidak efektif tergantung pada situasi. Empat gaya dasar ini akan menjadi delapan gaya kepemimpinan. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.   Gaya Dasar “INTEGRATED”
(Tugas tinggi dan hubungan tinggi). Akan menjadi gaya “EXECUTIVE” bila diekspresikan dalam situasi yang efektif. Tandanya ialah memenuhi kebutuhan kelompok dalam menetapkan tujuan dan bagaimana mencapainya, tetapi juga sangat memperhatikan hubungan dalam kelompok. Kelompok menjadi kohesif dan bekerja keras. Bila tidak efektif, maka akan menjadi gaya “COMPROMISER” yang ditandai dengan selalu memecahkan masalah dengan mengadakan kompromi antara tugas dan hubungan sehingga tidak berorientasi pada hasil yang akan dicapai.
2.   Gaya Dasar “RELATED”
(Hubungan tinggi dan tugas rendah). Bila efektif akan menjadi gaya “DEVELOPER”. Yakni percaya kepdaa anggota staf-nya dan memberikan kemudahan untuk berkembang pada anggota staf-nya dan memberikan kemudahanuntuk berkembang pada anggotas staf-nya dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Apabila tidak efektif akan menjadi gaya “MISSIONARI”, yaitu hanya tertarik pada adanya harmoni dan kadang-kadang tidak bersedia mengorbankan hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.
3.   Gaya Dasar “SEPARATED”
(Hubungan rendah dan tugas rendah). Bila efektif akan menjadi gaya “BUREUCRAT”, yakni mendelegasikan wewenang pada bawahan untuk mengambil keputusan tentang apa yang perlu dikerjakan. Bila tidak efektif akan menjadi gaya “DISERTER”, Yakni tidak memberikan struktur yang jelas dan dukungan moral pada waktu diperlukan.
4.   Gaya Dasar “ DEDICATED”
(Tugas tinggi dan hubungan rendah). Bila efektif akan menjadi gaya “BENEVOLENT AUTOCRAT”, yakni mempunyai tata kerja yang sangat berstruktur tapi jelas untuk anggota-anggota staf-nya. Bila tidak efektif akan menjadi gaya “AUTOCRAT”, yakni semua kebijakan ditetapkan sendiri tanpa memperdulikan anggota staf.

d)      Model Jalur Tujuan
Teori ini penting karena merupakan satu-satunya yang menekankan kepemimpinan dari pandangan “para pengikut” dan bagaimana prilaku pemimpin dilihat dari persepsi dan perasan mereka. Model ini menggunakan kerangka teori motivasi kerja disatu pihak, dan dilain pihak berhubungan dengan kekuasaan.
Martin Evans dan Robert House secara terpisah menulis karangan dalam pokok yang sama “Path-Goal Theory of Leadership” (1968 dan 1971) dan merekalah yang mengembangkan teori ini secara modern. Pada prinsipnya teori ini berusaha untuk menjelaskan pengaruh prilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan penampilan kerja bawahannya. Teori ini dinamakan jalur-tujuan, karena dipusatkan pada cara pemimpin mempengaruhi persepsi anggotanya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri sendiri, dan jalur untuk mencapai tujuan tersebut.
Dasar model jalur-tujuan adalah teori motivasi harapan. Secara singkat teori harapan menyatakan bahwa sikap orang, kepuasan kerja, prilaku dan usahanya dalam pekerjaan dapat diramalkan dari : (1) Sampai seberapa jauh pekerjaan atau prilaku itu dilihat dapat menghasilkan berbagai macam perolehan (harapan), dan (2) Kesenangan akan perolehan ini (valensi). Jadi, teori ini menyatakan bahwa orang akan merasa puas dengan pekerjaannya jika ia berpendapat bahwa pekerjaan itu akan menghasilkan perolehan yang diinginkan. Implikasi dari asumsi ini bagi kepemimpinan adalah bahwa bawahan dimotivasi oleh gaya pemimpin atau prilakunya sejauh gaya itu mempengaruhi harapan (jalan menuju tujuan) dan valensi atau daya tarik tujuan (Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1984 : 301)
Pemimpin akan bekerja efektif dengan memberikan imbalan yang tersedia bagi bawahan dan menguntungkan imbalan ini terhadap pencapaian bawahan akan tujuan tertentu. Bagian yang paling penting dari pekerjaan pemimpin ialah menjelaskan kepada bawahan tentang prilaku apa yang paling mungkin dapat mencapai tujuan. Kegiatan ini disebut penjelasan jalur.
Teori jalur-tujuan ini bergantung pada tiga konsep utama, yaitu : (1) valensi, (2) ekspektansi, dan (3) instrumentalitas (Evans, 1968). Kemudian ditambah lagi dua faktor, yakni peranan manajer dan bawahan serta situasi, sehingga teori ini disebut juga sebagai teori lima dimensi.
Cribbin (1982 : 21- 22) mengemukakan teori lima dimensi ini sebagai berikut:
(1)       Valensi (valence). Manusia cukup logis berfikir mereka hanya akan melakukan sesuatu dengan baik jika dengan perbuatannya itu mereka akan memperoleh imbalan yang bermutu. Karena itu, imbalan dan insentif yang diberikan oleh pemimpin harus menarik bagi mereka.
(2)     Harapan (expectancy). Manusia karena cukup main siasat. Mereka secara subjektif memperkirakan kemampuannya untuk berprestasi sebagaimana yang diharuskan dan memperkirakan kemungkinan bahwa mereka akan menerima hasil yang mereka hargai jika mereka berprestasi dengan baik.
(3)         Alat Perangsang (instrumentality). Imbalan berprestasi tinggi bukan merupakan tujuan satu-satunya. Orang melihat imbalan seperti kenaikan gaji atau kenaikan pangkat sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih penting, misalnya gaya hidup yang lebih baik atau pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Jadi, hasil pada tingkat pertama merupakan alat bantu untuk mencapai tujuan pada tingkat kedua.
(4)   Peranan Manajer. Merupakan dimensi keempat dalam teori ini. Pemimpin menggunakan empat tipe atau gaya perilaku yang tergantung pada situasi, yakni prilaku instrumental atau direktif, prilaku suportif, prilaku partisipatif, dan prilaku yang berorientasikan prestasi. Prilaku instrumental meliputi organisasi arus kerja, menjaga supaya bawahan tahu apa yang diharapkan dari mereka. Prilaku suportif atau konsiderasi meliputi pembentukan suasana yang hangat dan membantu, menyingirkan halangan-halangan terhadap pelaksanaan kerja dan memudahkan bawahan untuk berkarya. Prilaku partisifatif mencakup konsultasi dengan bawahan, memberitahu mereka berbagai perkembangan, memberikan umpan balik, dan menggunakan pendekatan kelompok terhadap pemecahan masalah dan pengambilan keputusan jika sesuai. Sedangkan prilaku yang berorientasi prestasi menentukan sasaran yang memberikan tantangan dan yang berarti seraya percaya pada kemampuan bawahan untuk mencapainya.
(5)         Bawahan dan situasi.  Merupakan dimensi kelima. Terdapat banyak jalan kecil (jalur) yang dapat ditempuh untuk mencapai prestasi dan kepuasan karyawan. Tugas yang sangat berstruktur yang kecepatannya ditentukan oleh mesin dan bersifat selalu kurang sama dan dapat membosankan, memerlukan prilaku-prilaku yang ramah, interaktif dan menyokong secara sosial, misalnya pujian, interaksi, keramahtamahan, bahkan kelakar yang mengurangi ketegangan. Sebaliknya, tugas yang berlebihan atau mengandung resiko tinggi memerlukan pendekatan yang lebih bersifat mengarahkan.
Tipe-tipe prilaku atau gaya kepemimpinan seperti yang telah disebutkan itu dapat terjadi dan dipergunakan senyatanya oleh pemimpin yang sama dalam situasi yang berbeda.Proposisi dari teori lajur tujuan ini adalah :
(1)   Prilaku pemimpin dapat diterima dan memuaskan sejauh bawahan menganggap prilaku semacam itu merupakan sumber langsung dari kepuasan atau sebagai alat untuk mendapatkan kepuasan di waktu yang akan datang.
(2) Prilaku pemimpin dapat memotivasi bawahan sampai sejauh prilaku itu memuaskan kebutuhan bawahan yang digantungkan pada hasil karya yang efektif dan prilaku tersebut melengkapi lingkungan bawahan dengan memberikan bimbingan, kejelasan pengarahan, dan imbalan yang perlu bagi hasil karya yang efektif.

Dua jenis variabel situasional atau kontingensi, yaitu : (1) Karakteristik personal bawahan, dan (2) Tekanan serta tuntutan lingkungan yang harus dihadapi bawahan agar dapat mencapai tujuan pekerjaan dan kepuasan.
Suatu penelitian menemukan bahwa apabila struktur tugas (pekerjaan yang berulang-ulang atau yang rutin) itu tinggi, maka prilaku pemimpin yang direktif itu mempunyai hubungan yang negatif dengan kepuasan; apabila struktur tugas itu rendah, maka prilaku pemimpin yang direktif mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan. Demikian juga apabila struktur tugas itu tinggi, maka kepemipinan yang suportif mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan, sedangkan pada struktur tugas yang rendah tidak ada sesuatu hubungan antara prilaku pemimpin yang suportif dengan kepuasan (Gibson, 1984 : 303).

e)   Model Kepemimpinan dari Vroom dan Yetton
Vroom dan Yetton (1977) mengemukakan model kepemimpinan yang memusatkan perhatiannya pada cara pengambilan keputusan dan cara pelaksanaannya. Mereka telah mengembangkan model pengambilan keputusan kepemimpinan yang menunjukkan macam-macam situasi dimana berbagai macam tingkat pengambilan keputusan yang partisipatif dapat cocok. Berbeda dengan Fiedler, mereka berusaha memberikan model normatif yang dapat digunakan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan. Mereka mengasumsikan bahwa tidak ada gaya ideal dan cocok bagi setiap situasi. Pemimpin harus cukup fleksibel untuk merubah gaya kepemimpinan supaya cocok dengan situasi. Fiedler berpendirian bahwa situasilah yang harus dirubah supaya cocok dengan gaya kepemimpinan yanag cukup keras dan sukar dirubah.
Cribbin (1982 : 24) mengemukakan kriteria pengambilan keputusan kepemimpinan sebagaiman yang dirumuskan oleh Vroom dan Yetton dalam bentuk pertanyaan, yaitu : (1) apakah ada persyaratan mutu ? (2) Apakah masalah itu berstruktur ? (3) apa saya cukup mempunyai infomasi? (4) apakah penerimaan oleh bawahan penting ? (5) jika saya mengambil keputusan, apakah saya cukup yakin bahwa bawahan akan menerimanya ? (6) apakah bawahan ikut mencapai tujuan organisasi dalam memecahkan masalah? (7) apa ada kemungkinan terjadi perselisihan mengenai penyelesaian yang lebih disukai.
Dalam menggunakan kriteria ini, ada tiga strategi bagi manajer. Strategi otokratis menyangkut pemecahan masalah oleh manajer sendiri dengan mempergunakan informasi apapun yang tersedia, atau mendapatkan data tertentu dari orang-orang sebelum mengambil keputusan. Strategi konsultatif menyangkut pembebanan masalah itu kepada orang-orang yang relevan dan mengumpulkan usul-usul dan gagasan mereka sebelum mengambil keputusan atau menggunakan cara berkonsultasi dalam lingkungan kelompok. Akhirnya, proses kelompok menyangkut fungsi kasalitator sehingga kelompok mencapai konsensus. Ada dua syarat sebagai pelengkap ketujuh kriteria tersebut diatas. Jika faktor waktu penting sekali, maka pendekatan yang paling otokratis mungkin paling baik. Ini berlaku untuk keadaan darurat dan keadaan yang memerlukan efektivitas waktu dipandang dari segi satu jam kerja untuk satu orang yang disediakan untuk satu proses. Jika pengembangan bawahan merupakan masalah yang kritis, maka lebih layak dipergunakan pendekatan partisipatif seperti yang dikatakan oleh Vroom dan Yetton, “Manajer bukan semata-mata otokratis atau partisipatif belaka, tetapi dapat mempergunakan pendekatan mana saja sebagai jawaban atas tuntutan situasi sesuai dengan persepsinya”.
f)     Pendekatan “Social Learning” dalam Kepemimpinan
“Sosial Learning” merupakan suatu teori yang dapat memberikan suatu model yang menjamin kelangsungan interaksi timbal balik antara pemimpin, model yang menjamin kelangsungan interaksi timbal balik antara pemimpin, lingkungan dan prilakunya sendiri. Nampaknya teori ini agak komprehensif dan memberikan dasar-dasar teori yang jelas dalam rangka memahami kepemimpinan. (M. Thoha, 1983 : 48)
Penekanan pendekatan ini ialah terletak pada peranan prilaku kepemimpinan, kelangsungan dan interaksi timbal balik diantara semua variable yang ada. Dapat dikatakan bahwa bawahan secara aktif ikut terlibat dalam proses kegiatan organisasi dan bersama-sama dengan pimpinan memusatkan pada prilakunya sendiri dan prilaku lainnya, serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lingkungan dan kognisi-kognisi yang bisa memperantarakan.
Pada prinsipnya pendekatan ini menganggap bahwa :
(1)   Pemimpin menjadi lebih mengetahui dengan variabel-variabel mikro dan makro yang mengendalikan prilakunya.
(2)   Pemimpin bekerja bersama-sama dengan bawahannya untuk menentukan serangkaian prilaku kontigen yang berkepribadiaan dan yang dapat mengatur prilaku bawahan.
(3)   Pemimpin bersama-sama dengan bawahan berusaha menemukan cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mengatur prilaku individu guna menghasilkan hasil-hasil yang produktif yang lebih bisa menguatkan bersama organisasi.
Dengan demikian, dalam pendekatan “social learning” ini antara pemimpin dan bawahan mempunyai kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara yang timbul. Keduanya mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai kesadaran untuk menemukan bagaimana caranya menyempurnakan prilaku masing-masing dengan memberikan penghargaan-penghargaan yang diinginkan.

g)        Teori Kepemimpinan Situsional
Teori kepemimpinan situsional dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard yang mereka anggap sebagai “Life Cycle Theory of Leadership” (1977 : 160)
Teori ini merupakan pengembangan yang mutakhir dari teori kepemimpinan dan merupakan hasil baru dari model keefektifan pemimpin tiga dimensi. Model kepemimpinan ini didasarkan pada hubungan garis lengkung diantara (1) Kadar bimbingan dan arahan (prilaku tugas) yang diberikan pemimpin; (2) Kadar dukungan sosio-emosional (prilaku hubungan) yang disediakan pemimpin; dan (3) level kesiapan (kamatangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi atau tujuan tertentu. Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang-orang yang melakukan proses kepemimpinan, tanpa mempersoalkan peranan mereka, agar lebih efektif dalam hubungan mereka sehari-hari dengan orang lain. Konsep ini menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan level kematangan para pengikut, bagi para pemimpin (Hersey & Blanchard, 1986 : 178)
Walaupun diakui bahwa semua variabel situasi yakni pemimpin, pengikut, atasan, sejawat, organisasi, desakan pekerjaan dan waktu adalah penting, namun dalam kepemimpinan situasional penekanan diletakkan pada prilaku pemimpin dalam hubungannya dengan pengikut. Hubungan ini tidak semata-mata hubungan vertikal, tetapi juga secara horizontal. Jadi bagaimana peran pemimpin dalam mempengaruhi prilaku bawahan, atasan, sejawat, teman, peserta didik atau anggota keluarga.
Dalam teori ini, kematangan diartikan sebagai kemampuan dan kemauan para pengikut untuk bertanggung jawab dan mengarahkan prilaku mereka sendiri. Kematangan disini hendaknya diartikan hanya dalam hubungan dengan tugas-tugas spesifik yang akan dilakukan seseorang. Sebab tidak dapat dikatakan bahwa seseorang itu sangat matang atau tidak matang dalam arti semua pekerjaan (menyeluruh). Semua orang cenderung lebih atau kurang matang dalam hubungan dengan tugas, fungsi atau sasaran spesifik yang diupayakan pemimpin untuk mereka selesaikan.
Teori kepemimpinan situasional mengatakan bahwa tidak ada satu pun cara terbaik untuk menpengaruhi prilaku orang lain. Gaya kepemimpinn yang mana yang harus diterapkan seseorang terhadap orang lain tergantung pada level kematangan dari orang-orang yang akan dipengaruhi pemimpin.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam  menentukan komponen kematangan adalah:
(1)   Orang yang mempunyai motif berprestasi memiliki karakteristik umum tertentu, termasuk kemampuan merumuskan dan dapat mencapai tujuan-tujuan yang tinggi, mempunyai perhatian pada prestasi pribadi.
(2)   Berkaitan dengan istilah tanggung jawab yang dapat dilihat dari dua konsep, yaitu : kemauan (motivasi) dan kemampuan (kompetensi). Kombinasi dari kedua faktor tersebut adalah : (a) individu yang tidak mampu bertanggung jawab, (b) individu yang mau tetapi tidak mampu bertanggung jawab, (c) individu yang mampu tetapi tidak mau bertanggung jawab, dan (d) individu yang mau dan mampu bertanggung jawab.
(3)   Berkaitan dengan pendidikan dan atau pengalaman.
(4)   Berkatian dengan kematangan melakukan tugas relevan ini, terdapat dua faktor : (a) kematangan kerja yaitu kemampuan dan pengetahuan teknis untuk melakukan tugas, dan (b) kematangan psikologis yaitu suatu perasaan percaya diri dan harga diri tentang diri sendiri sebagai seorang individu.
(5)   Berkaitan dengan variabel-variabel  situasional lain, misalnya gaya atasan memimpin, komitmen dalam waktu dan hakekat kerja.
Menurut teori kepemimpinana situasional, taraf kematangan para pengikat secara kontinyu meningkat dalam hal melaksanakan tugas spesifik. Pemimpin handaknya mulai mengurangi “prilaku tugas mereka dan meningkatkan prilaku hubungan” sampai individu atau kelompok mencapai taraf kematangan moderat. Pada saat seorang atau kelompok bergerak dalam mencapai tingkat rata-rata kematangan, pemimpin hendaknya mengurangi baik orientasi hubungan maupun orientasi tugasnya. Keadaan ini berlangsung sampai pengikut mencapai tingkat kematangan penuh dimana mereka sudah dapat mandiri baik dilihat dari kematangan kerjanya ataupun kematangan psikologisnya. Pengawasan yang ketat tidak lagi diperlukan dan pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan. Jadi teori ini menekankan pada kesesuaian antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan para pengikut.

Empat gaya kepemimpinan menurut teori ini adalah :
(1)   “Memberitahukan” (Telling). Perilaku pemimpin dengan tugas tinggi dan hubungan rendah. Gaya ini mempunyai ciri komunikasi satu arah. Pemimpin mengatakan apa, bagaimana, kapan dan dimana tugas pekerjaan dilakukan. Pemimpin memberikan intruksi spesifikasi dan mensuvervisi pelaksanaan pekerjaan secara ketat. Gaya ini sesuai dengan level kematangan yang rendah (M1).
(2)   “Menjajakan” (Selling). Perilaku tugas tinggi dan hubungan tinggi. Gaya ini ditandai dengan pengarahan yang masih tinggi dari pimpinan, tetapi sudah mengadakan komunikasi dua arah dengan dukungan sosio-emosional untuk menjajakan keputusan. Gaya ini sesuai dengan kematangan rendah ke sedang (M2), disini menjelaskan orang-orang yang tidak mampu tetapi mau memikul tanggung jawab untuk melaksanakan suatu tugas.
(3)   “Mengikut sertakan (Participating). Perilaku hubungan tinggi dan tugas rendah. Pemimpin dan pengikut sama-sama memberikan andil dalam keputusan melalui komunikasi dua arah. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan sedang ke tinggi (M3), disini menjelaskan orang-orang yang mampu tetapi tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidak mampuan mereka sering kali karena kurang yakin atau merasa tidak aman.
(4)   “Mendelegasikan” (Delegating). Perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Gaya ini melibatkan yang dipimpin untuk melaksanakan tugas mereka sendiri melalui pendelegasian dan supervisi yang bersifat umum. Sesuai bagi tingkat kematangan tinggi (M4). Orang-orang yang mampu, dan mau, atau yakin untuk memikul tanggung jawab. Mereka adalah orang yang matang melakukan tugas dan matang pula secara psikologis.
Model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard tersebut telah mengalami perbaikan dan perubahan yang dilakukan oleh Kenneth Blanchard bersama Patricia Zigarmi (1985), yang mereka sebut dengan Kepemimpinan Situasional II, 

2.2. Keempat gaya kepemimpinannya adalah sebagai berikut:
Gaya 1    : Mengarahkan (Directing). Pemeimpin memberikan petunjuk yang spesifik dan mengawasi secara ketat penyelesaian tugas.
Gaya2  :Melatih (Coasching). Pemimpin terus mengarahkan dan mengawasi secara ketat penyelesaian tugas, tetapi juga menjelaskan keputusan, meminta saran dan mendukung kemajuan.
Gaya 3   : Mendukung (Supporting). Pemimpin memberikan fasilitas dan mendukung usaha bawahan kea rah penyelesaian tugas dan membagi tanggung jawab untuk membuat keputusan dengan mereka.
Gaya 4  : Mendelegasikan (Delegating). Pemimpin menyerahkan tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan pemecahan masalah kepada bawahan (Blanchard, Zigarmi, 1986 : 30).
Gaya kepemimpinan adalah bagimana pemimpin berprilaku ketika hendak mencoba mempengaruhi prestasi para pengikut. Gaya kepemimpinan merupakan kombinasi antara perilaku direktif dan perilaku suportif. Perilaku direktif meliputi : mengatakan secara jelas kepada seseorang apa yang dikerjakan, bagimana mengerjakannya, dimana melakukannya, bilamana mengerjakannya; dan kemudian mengawasi dengan seksama pelaksanaannya. Sedangkan perilaku suportif meliputi : mendegarkan orang lain, memberikan dukungan dan semangat atas usaha mereka, dan kemudian membantu keterlibatan mereka dalam pemecahan persoalan dalam pengambilan keputusan. Walaupun ada empat gaya kepemimpinan, tetapi tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang terbaik.
Tingkat kematangan para pengikut, di dalam model Kepemimpinan Situasional II dikenal dengan sebutan “Tingkat Pengembangan” yang berupa kombinasi antara kompetensi dan komitmen. Kompetensi merupakan fungsi dari pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman. Komitmen merupakan gabungan antara rasa percaya diri dengan motivasi.
Rasa percaya diri adalah ukuran dari keyakinan diri seseorang, perasaan bahwa ia mampu melakukan suatu tugas dengan baik tanpa banyak pengawasan. Sedangkan motivasi adalah minat dan semangat seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.